![]() |
Ilustrasi Lukisan Perang Aceh (Foto: net) |
Buku Prominent Women in The Glimpse of History menyebutkan bahwa Pocut Merah Intan merupakan keturunan bangsawan dari Kesultanan Aceh. Ia juga dikenal sebagai Pocut Di Biheue, artinya Pocut dari Biheue.
Dikutip dari pidiekab.go.id, ayahnya adalah Keujruen Biheue merupakan keturunan dari keturunan Pocut Bantan. Namanya Teuku Mureh Intan, Uleebalang Biheue.
Diketahui bahwa nama suami Pocut Di Biheue adalah Tuanku Abdul Majid. Ia adalah putra dari Tuanku Abbas bin Sultan Alaiddin Jauhar Alam Syah.
Tuanku Abdul Majid adalah anggota keluarga Sultan Aceh yang tidak mau berdamai dengan Belanda.
Dengan gigih ia melawan Belanda di Selat Malaka di sekitar Laweueng dan Batee yang kerap menyerang kapal berbendera Belanda. Belanda menyebut Abdul Majid Zeerover, bajak laut.
Pocut Meurah Intan dikenal sebagai wanita tangguh. Ayahnya menanamkan dalam dirinya karakter religius dan patriotik sejak kecil. Ia memiliki ambisi melawan penjajahan Belanda yang menjajah negaranya.
Ia kemudian mengumpulkan para pengikutnya termasuk ketiga putranya Tuanku Budiman, Tuanku Muhammad dan Tuanku Nurdin serta tangan kanannya Pang Mahmud untuk memimpin pertempuran.
Pocut Meurah Intan dikenal dengan kekuatannya dan memiliki banyak pengikut. Pengaruh dan karakter Pocut Meurah Intan membuat khawatir pemerintah Belanda dan mereka berusaha menghentikan apa yang mereka lakukan.
Dikutip dari nationalgeographic.grid.id, disebutkan bahwa Tentara Hindia Belanda melakukan ekspedisi di Aceh, Mayor Jenderal T.J dipimpin Veltman dengan 17 prajuritnya.
Ekspedisi militer diluncurkan pada 11 November 1902 dan mereka berpatroli di tempat persembunyian Pocut Meurah Intan di Biheue.
Mengetahui hal itu, Pocut Meurah Intan beraksi sendirian melawan rombongan patroli tersebut.
Saat ini nama Pocut Meurah Intan digunakan untuk nama taman hutan raya (Tahura) yang terletak di antara perbatasan kabupaten Pidie dan Aceh Besar di puncak Gunung Seulawah.
Karena terdesak, dia kemudian mengeluarkan rencongnya di pinggangnya dan menyerang patroli hingga menderita banyak luka.
Pocut Di Biheue kemudian dibiarkan tergeletak di genangan darah. Veltman mengira perempuan itu akan mati.
Ia kagum dengan semangat Pocut Di Biheue, sehingga menolak sersan yang hendak membunuh Pocut yang dalam keadaan tidak berdaya. Dia ditinggalkan dalam keadaan berdarah. Namun, kecurigaan Veltman atas kematian Pocut tidak terbukti.
Wanita hebat ini masih hidup, karena berhasil menyelamatkan diri, meski menderita banyak luka di bagian kepala dan bahu.
Otot tumitnya juga dipotong, sehingga harus diamputasi di penjara kolonial.
Veltman yang terkesan dengan Pocut kemudian membawa seorang dokter ke kediaman Pocut untuk mengobati lukanya.
Namun, meskipun Veltman terus-menerus memujuk, dia menolak bantuan apa pun. Toh dia mau dirawat asalkan tentara Belanda itu dari pribumi.
Pesan Pocut diterima oleh Scheuer, komandan tentara Belanda. Dia bahkan menjumpai Pocut Di Biheue untuk memberikan penghormatan.
Pada tahun 1905, Pocut Di Biheue ditangkap di Kutaraja, Banda Aceh.
Ia dan kedua putranya, Tuanku Nurdin dan Tuanku Budiman, serta saudaranya, Tuanku Ibrahim, kemudian dideportasi ke Blora. Pengasingan itu berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 24 tanggal 6 Mei 1905 yang mengakhiri perjuangan Pocut dan keluarganya.
Sedangkan salah satu anak Pocut, Tuanku Muhammad, diasingkan ke Tondano di Sulawesi Utara pada tahun 1900.
Selama 30 tahun di pengasingan di Blora, kesehatan Pocut Meurah Intan semakin memburuk.
“Ditolak oleh banyak pihak. Karena semua takut Belanda akan mengurusnya,” kata Mochamad Djamil, generasi ketiga pengelola makam Pocut Meurah Intan. “Bupati dan lainnya takut sama Belanda, cuma nenek saya yang berani,” katanya kepada National Geographic Indonesia.
Kakek Mochamad Djamili adalah RMN Dono Muhammad, seorang panghulu yang menjadi sahabat Pocut Meurah Intan.
Menurut keterangannya, Dono membawa Pocut Meurah Intan ke kediamannya di depan Masjid Raya Blora.
“Dalam persembunyiannya dia (Pocut Meurah Intan) tidak keluar agar Belanda tidak mengetahuinya. Dia juga sakit dan kakinya diamputasi," jelas Djamil. Dono meninggal pada tahun 1933 dan anak-anak Dono melanjutkan merawat Pocut Meurah Intan.
Pocut Meurah Intan meninggal pada tanggal 19 September 1937.
Sebelum meninggal, Pocut Meurah Intan memiliki wasiat untuk dimakamkan hanya di Blora setelah meninggal dunia.
Anak-anak Dono pun memakamkannya di pemakaman keluarga di Desa Temurejo, Blora. Hingga kini, Djamil dan keluarganya berpegang teguh pada wasiat tersebut. “Ketika perwakilan provinsi Aceh datang ke sini, mereka ingin memindahkannya ke Aceh. Tapi kami menolaknya karena itu sudah menjadi wasiat dari beliau langsung kepada kami. Ini amanah yang diberikan kepada keluarga kami," tutupnya. []