History
Lagenda Asal Mula Gunung Geurutee Di Tepi Samudera Hindia
![]() |
Pemandangan Gunung Geurutee dengan hamparan Samudera Hindia (Foto carrierstory) |
Puncak Geurutee Sebagai Destinasi Wisata
ACHEH NETWORK - Gunung Geurutee terletak di Aceh dan menjadi lintasan nasional yang menghubungkan kawasan barat selatan Aceh. Gunung ini berada di perbatasan alami antara kabupaten Aceh Jaya dan kabupaten Aceh Besar, sekitar 60 kilometer dari arah kota Banda Aceh atau sekitar satu setengah jam perjalanan dari kota tersebut. Salah satu ciri khas gunung Geurutee adalah komposisi batunya yang lebih besar dibandingkan dengan gunung-gunung lain yang dilewati sebelumnya seperti gunung Paro dan gunung Kulu.
Di puncak gunung Geurutee terdapat sebuah monument berbentuk runcing yang menandakan posisi pendakian tertinggi. Gunung ini memiliki jurang yang sangat dalam dan langsung berbatasan dengan bibir pantai Samudera Hindia. Di puncak gunung Geurutee, sering ditemukan berbagai fosil biota laut seperti kulit kerang sehingga diperkirakan gunung ini awalnya adalah lautan.
Gunung Geurutee tidak bisa dilewati melalui bagian atasnya sehingga harus dilalui melalui sampingnya. Dahulu kala, orang-orang Aceh lebih banyak melakukan perjalanan dengan kapal laut karena mereka merupakan bangsa bahari. Gunung Geurutee tidak bisa ditembus melalui perjalanan darat sampai pemerintah kolonial Belanda membuat jalan pada sisinya. Namun, pembangunan jalan tersebut sangat mahal sehingga masyarakat pesisir barat Aceh mengatakan bahwa Belanda sempat kehabisan uang untuk membangun jalan tersebut.
Panorama dari gunung Geurutee terlihat sangat indah. Dari tempat ini, wisatawan dapat melihat hamparan lautan yang membiru serta gugusan pulau-pulau kecil yang tampak kehijauan dari kejauhan. Terlihat barisan pantai dengan pasir putih jernih yang mengelilingi pulau-pulau eksotis tersebut. Ada banyak warung yang menjual makanan dan minuman, dan udara yang sejuk berasal dari angin lautan terasa nikmat sambil menikmati secangkir kopi robusta Aceh atau kelapa muda. Seringkali, wisatawan juga dapat melihat monyet-monyet yang berkeliaran dan menunggu pemberian makanan dari pengunjung. Monyet-monyet tersebut sudah terbiasa berinteraksi dengan manusia sehingga tidak perlu khawatir. Terdapat juga masjid kecil bagi muslim untuk beribadah di sana.
Lagenda Gunung Geurutee
Pada masa kecil penulis, sering mendengarkan riwayat kuno dari orang-orang tua di balai dan meunasah (langgar), atau pada pertemuan lain yang penting pada masa itu. Ada banyak legenda yang penulis dengar dari orang-orang tua yang pandai meriwayatkan cerita kuno (mitos), salah satunya adalah legenda Gunung Geurutee.
Dahulu kala, di hulu Krueng Daya (sungai Daya), terdapat sebuah dusun yang bernama Lhan Na yang sekarang dikenal dengan sebutan Lamno. Awalnya, dusun ini didiami oleh orang-orang liar yang belum beragama. Mereka diduga berasal dari bangsa lanun, orang Aceh menyebut “lhan”, atau bangsa Samang yang datang dari semenanjung Malaka atau dari Hindia Belakang, negeri Burma, dan Champa, yang mungkin ada hubungan dengan bangsa Mongolia yang datang melalui kaki gunung Himalaya.
Kemudian, penghuni di hulu sungai Daya bercampur dengan orang-orang yang baru datang ke sana, dan karena percampuran ini, peradabannya menjadi semakin maju. Orang-orang dari Aceh dan Pasai pun datang, sehingga Raja Daya masuk Islam, dan kemudian, secara bertahap, orang-orang liar itu semua masuk Islam. Sejak itu, orang-orang di pesisir negeri Daya menganut agama Islam.
Kisah ini konon terjadi pada masa peralihan. Pada masa itu, hiduplah sepasang suami istri di negeri Daya, yang menghidupi diri mereka sebagai nelayan. Pada suatu hari, sang suami merasa harus mencari penghidupan yang lebih baik, lalu meminta izin dari istrinya untuk merantau ke Aceh (Banda Aceh sekarang).
Namun, sang istri merasa keberatan dan mengemukakan alasan, “Bukankah kehidupan kita di sini tidak kekurangan apa pun? Mengapa harus merantau?” Akan tetapi, sang suami bersikeras dan berjanji akan segera kembali ketika perantauannya telah mendapatkan hasil. Istrinya akhirnya luluh dan mengizinkan suaminya merantau ke Aceh yang berada di utara negeri Daya. Pada waktu itu, Gunung Geurutee belum ada sehingga perjalanan darat dapat ditempuh.
Orang-orang tua yang meriwayatkan tidak menjelaskan berapa lama si suami merantau. Pasti telah cukup lama sehingga istrinya merasa kesal dan menggerutu. Setiap hari, dia menggerutu menunggu sang suami pulang. Hingga pada suatu hari, pada puncak kekesalannya, dia berkata, “Jika dia tidak pulang segera, maka biarlah dia tidak bisa pulang sekalian!” Kata-katanya didengarkan oleh banyak orang.
Beberapa saat kemudian, bumi bergoncang hebat dan sebuah batu besar muncul dari laut dan semakin membesar, menutupi jalan yang menghubungkan kerajaan Daya dan Aceh. Hal ini mengakibatkan suami seorang wanita di kerajaan Daya tidak bisa lagi pulang melalui jalan tersebut.
Oleh karena itu, orang-orang Daya menamai gunung tersebut Geureutee, yang artinya gerutu. Meskipun terletak di wilayah yang sama dengan gunung Hulumasen di Bukit Barisan, gunung Geureutee memiliki karakteristik yang berbeda dengan gunung lainnya di Aceh dan Sumatera.
Namun, di balik keberadaan gunung Geureutee yang gagah, terdapat pemandangan yang indah dan legenda cinta yang menyentuh hati. Kisah ini menceritakan tentang rasa putus asa karena jarak, tentang rindu yang tak tersampaikan, dan tentang perasaan yang dianiaya. Legenda ini memberikan pelajaran berharga bahwa selama Anda percaya akan ada pemandangan indah yang menanti di puncak gunung, Anda akan mampu menaklukkan tantangan di tanjakan yang terjal. Ada alasan mengapa Anda harus menelusuri tanjakan tersebut, yaitu karena kebahagiaan yang menanti di puncak gunung.[]
Sumber: tengkuputeh.com
Tag
History