24 C
id

Sejarah Perjalanan Partai Komunis Di Aceh

 

PKI Aceh
Foto Thaib Adamy berlatar belakang bendera Partai Komunis


Latar Belakang Kondisi Tahun 1960-an


ACHEH NETWORK - Saat ini, banyak orang yang tidak mengetahui keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Aceh. Meskipun ada beberapa saksi hidup yang mendengar kisah dari mulut ke mulut, kebanyakan dari mereka memilih untuk bungkam dan tidak mau bercerita. Namun, terdapat sebuah buku di Aceh yang ditulis oleh Thaib Adamy, Wakil Sekretaris Pertama di Komite PKI Aceh pada era 1960-an. Buku tersebut berjudul "Atjeh Mendakwa" dan menceritakan pembelaannya dalam persidangan di Pengadilan Negeri Sigli pada tanggal 12 September 1963. Thaib Adamy disidangkan atas tuduhan keterlibatannya dalam segala kegiatan revolusioner di organisasi PKI. Buku ini ditulis langsung oleh Thaib Adamy dan kemudian dibukukan pada tahun 1964 oleh Komite PKI Aceh.

Dalam persidangan, Thaib Adamy dijerat hukum dan dipidanakan akibat orasi politiknya yang mengajak orang untuk berjuang melakukan revolusi di Indonesia. Ia menyebut musuh rakyat miskin adalah sistem kapitalisme yang sedang berlangsung di Negara Indonesia dan juga Aceh pada masa itu. Saat itu, Thaib Adamy adalah Wakil Sekretaris Pertama Komite PKI Aceh dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) Aceh dari fraksi PKI. Ia memberikan orasi politik dalam rapat umum PKI pada tanggal 3 Maret 1963 di Sigli. Atas dasar itu, Pengadilan Negeri Sigli menuduh Thaib Adamy melakukan provokasi dan propaganda yang menyebabkan terjadinya kerusuhan.

Dalam pledoinya, ucapan yang paling dikenal dan banyak dikutip oleh media dan penulis lainnya adalah: "Kalau pemimpin PRRI, Permesta, dan DI/TII yang sudah terang-terangan melawan pemerintah RI dengan kekerasan, merusak bangunan-bangunan, bahkan sampai berakibat hilangnya puluhan ribu nyawa rakyat tidak dihukum, apakah adil kalau saya dipersalahkan dan dihukum karena melakukan aktivitas revolusioner, membela rakyat, dan revolusi memperkuat Manipol dengan mengganggu kontra revolusi kapitalis, birokrat, pencoleng harta negara?" Ucapan ini disambut dengan tepuk tangan massa yang hadir di persidangan.

Pada tanggal 16 September 1963, Pengadilan Negeri Sigli yang dipimpin oleh Hakim Chudari menjatuhkan hukuman dua tahun penjara atas Thaib Adamy. Ia masih mewakili PKI di DPRD-GR Provinsi Daerah Istimewa Aceh pada waktu itu.

Buku "Atjeh Mendakwa" ditulis untuk memberikan data akurat mengenai sejarah Partai Komunis Indonesia di Aceh. Sayangnya, buku ini tidak ditemukan di seluruh Aceh.

Dalam buku "Atjeh Mendakwa", Thaib Adamy menceritakan secara rinci tentang pengalamannya sebagai anggota PKI di Aceh dan bagaimana ia dituduh melakukan kegiatan revolusioner dan propaganda yang merusak tatanan sosial masyarakat Aceh.

Buku ini menjadi saksi bisu dari keberadaan Partai Komunis Indonesia di Aceh pada era 1960-an dan memberikan sudut pandang yang berbeda dari sejarah resmi yang disajikan oleh pemerintah Indonesia.

Namun, buku ini juga menjadi kontroversial karena dianggap sebagai propaganda komunis yang mengancam stabilitas keamanan nasional Indonesia. Setelah pembubaran PKI pada tahun 1965, buku ini dilarang dan tidak boleh dipublikasikan di Indonesia.

Meskipun begitu, keberadaan buku "Atjeh Mendakwa" tetap menjadi penting sebagai bagian dari sejarah yang tidak boleh dilupakan dan perlu dipelajari dengan objektif dan kritis.

Dalam konteks Indonesia yang sekarang, di mana kebebasan berekspresi dan mengakses informasi semakin terbuka, buku ini mungkin bisa diakses dengan lebih mudah dan membuka perspektif baru tentang sejarah politik Indonesia dan Aceh.


Sejarah Awal PKI di Aceh

Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, PKI dan kaum ulama memiliki musuh bersama yaitu kaum uleebalang, meskipun tidak semua di antaranya dianggap sebagai musuh. Beberapa kaum uleebalang juga bergabung dalam PUSA. Hal ini terlihat pada pidato Samadikin yang tidak menganggap semua uleebalang sebagai musuh. Namun secara umum, PKI dan kaum ulama memiliki kepentingan bersama untuk menjatuhkan kekuasaan kaum uleebalang. Perubahan status sosial di Aceh terjadi ketika kepentingan bersama ini mulai tumbuh.

Thaib Adamy, seorang anggota DPRGR Aceh dari fraksi PKI dan penulis buku "Atjeh Mendakwa," juga menjabat sebagai Wakil Sekretaris Pertama Committee PKI Aceh. Namun, hubungan ini retak ketika sebagian kaum ulama mengangkat senjata untuk menentang pemerintah Indonesia. PKI justru mendukung pemerintah dan tentara Indonesia pada tahap ini. Sebaliknya, ulama PUSA berada pada posisi berhadapan dengan tentara Indonesia.

Pada tahun 1962, Abu Beureueh dan para anggota PUSA memutuskan untuk turun gunung. Hal ini membuat hubungan antara tentara dan kaum ulama mulai membaik. Pangdam saat itu, Kolonel Jasin yang sebelumnya memerintahkan penangkapan Thaib Adamy, mulai membina hubungan harmonis dengan kaum ulama PUSA pimpinan Abu Beureueh.


Kehancuran PKI di Aceh

Setelah terjadinya G30S, PKI mengalami malapetaka. Kaum ulama dan tentara sepakat untuk memberangus PKI. Dalam bukunya, Ali Hasjmy menuliskan bahwa dua bulan setelah G30S, para ulama mengadakan musyawarah yang diberi nama Musyawarah Alim Ulama se-Daerah Istimewa Aceh. Pertemuan tersebut dipimpin oleh ulama besar Teungku Abdullah Ujong Rimba dan menghasilkan fatwa yang mengharamkan ajaran komunis di Aceh. Mereka menyebut penggerak, pelopor, dan pelaksana G30S sebagai kafir harbi yang wajib dibasmi.

Musyawarah tersebut tidak terjadi begitu saja. Pangdam Iskandar Muda, Ishak Juarsa, selaku Penguasa Perang untuk Daerah Istimewa Aceh, meminta pendapat hukum Islam tentang G30S. Sebanyak 56 alim ulama se-Aceh berkumpul pada 17-18 Desember 1965 untuk membahas hal tersebut. Hasilnya, kaum ulama mengeluarkan seruan untuk membubarkan PKI dan mengeluarkan fatwa mati syahid bagi mereka yang terbunuh dalam penumpasan G30S. Besoknya, pada 19 Desember 1965, Panglima Kodam I Iskandar Muda mengumumkan pembubaran PKI di Aceh.

Namun, apa yang terjadi setelahnya adalah pembantaian yang sangat memilukan. Jika pada masa Perang Cumbok, PKI memiliki kepentingan yang sama dengan kaum ulama, pada tahun 1965, kaum ulama dan tentara bergabung untuk memusnahkan PKI. Ribuan nyawa melayang tanpa adanya pengadilan atau pembuktian. PKI di Aceh pun musnah sampai ke akarnya.


Nasib PKI di Aceh Setelah G30S

Pada tanggal 5 Oktober 1965, di Banda Aceh dan kota-kota lain di Aceh, terjadi demonstrasi dari PNI (Haji Syamaun), mahasiswa, dan organisasi massa yang menuntut pembubaran PKI. Demonstrasi ini diucapkan dengan kalimat "Allahu Akbar". Kantor PKI diobrak-abrik dan malamnya terjadi penculikan dan pembunuhan terhadap anggota dan onderbouw PKI serta Baperki.

Pada tanggal 16 Desember 1965, diadakan Musyawarah Ulama Aceh yang mengeluarkan fatwa bahwa komunisme hukumnya kufur dan haram. Kemudian, Pangdam I/Iskandar Muda selaku Pepelrada untuk Kodim 0101 memerintahkan pembentukan Tim Screening guna meneliti dan memproses para anggota PKI dan ormasnya. Tim ini dapat menentukan apakah mereka terlibat atau tidak dalam G 30 S. Dengan adanya tim ini, dapat dihindarkan tindakan liar dari para pemuda atau ormas untuk mengambil keputusan terhadap orang yang tersangka anggota PKI serta ormasnya.

Ketua Tim Screening Kosekhan 0101 dipegang oleh Dandim sendiri, wakil Kapten Drs. M. Syah Asyik, anggota-anggota Letnan T.M. Jalil, Letnan M. Daud Musa (CPM), Peltu Syamsuddin (CPM), Suherman, A. Mukti, Syamsuddin (dari Kepolisian), Sudarman dari Kejaksaan Negeri dan Said Abubakar dari Biro Politik dan Keamanan. Kantornya berada di gedung Baperki (sekarang SMP 7 Peunayong Banda Aceh), kemudian dipindahkan ke kantor Kodim 0101 di Jalan Sultan Mahmudsyah. Selain itu, anggota PKI dan ormasnya dari Kotamadya Sabang juga dibawa ke Banda Aceh untuk diseleksi terlibat atau tidak.

Sekretaris dan wakil sekretaris CC PKI Aceh, Muhammad Samidikin dan Thaib Adamy, serta sejumlah anggota PKI dan ormas-ormasnya juga dianggap sebagai PKI dan telah terbunuh. Thaib Adamy meminta disampaikan salam pada Bung Karno sebelum dipancung dan meneriakkan "Hidup Bung Karno". Ketua Gerwani, Ketua Pemuda Rakyat, anggota CGMI, ketua Baperki, dan lain-lainnya dieksekusi oleh massa pemuda. Biro khusus Nyak Amat diajukan ke pengadilan. Keluarga (istri dan anak-anak M. Samidikin) oleh Kosekhan (Tim Screening) dikawal melalui kereta api diantar dengan selamat ke kampungnya di Tanjungpura, Sumatra Utara. Ada 1 orang anak-anak yang dibunuh oleh massa, seperti anak dari Thaib Adamy yang berumur 14 tahun. Kasan Siregar, mantan ketua PKI, juga dieksekusi. Padahal Kasan Siregar selaku keuchik Kampung Baru, Banda Aceh seorang yang sering shalat ke Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Terdapat juga aktivis PKI yang lari ke luar Aceh seperti Cut Husin, K. Ampio, dan Lim Ka Kee.

Pada saat yang sama, pemerintah Orde Baru juga melanjutkan pembersihan terhadap anggota PKI dan simpatisannya melalui Operasi Tumpas. Operasi ini dilakukan secara besar-besaran dan brutal, dengan tujuan untuk menghilangkan sisa-sisa PKI dari masyarakat Indonesia.

Dalam Operasi Tumpas, ratusan ribu orang diduga sebagai anggota atau simpatisan PKI ditangkap, dibunuh, atau diasingkan ke pulau-pulau terpencil di Indonesia. Beberapa sumber mengatakan bahwa jumlah kematian akibat Operasi Tumpas bisa mencapai satu juta orang, meskipun angka ini masih diperdebatkan.

Peristiwa ini meninggalkan trauma mendalam bagi masyarakat Indonesia, terutama bagi keluarga korban dan orang-orang yang selamat dari pembersihan tersebut. Peristiwa ini juga memberikan dampak jangka panjang bagi politik dan masyarakat Indonesia, terutama dalam membangun kepercayaan dan toleransi antarwarga yang berbeda-beda.[]

Ohya, Sahabat Pembaca.. Jika kalian punya cerita unik, artikel menarik, tips berguna atau pun berita kejadian terkini, Silakan kirim ke Admin Acheh Network..!!
Whatsapp:
0812-6537-7302 (Pesan saja/tidak menerima panggilan telepon)

ARTIKEL TERKAIT

Terupdate Lainnya

Tinggalkan Komentar Anda

iklan

REKOMENDASI UNTUK ANDA