24 C
en

Sejarah Keureuto: Kisah Perjuangan Teuku Chik Ditunong yang Tak Kenal Kata Kompromi dengan Belanda

Sejarah Keureuto, Keureuto, Aceh, uleebalang, perjuangan, Belanda, Teuku Chik Tunong, Cut Nyak Asiah, pasukan, strategi, pertempuran
Ilustrasi Pejuang Aceh tempo dulu (Foto: Ist)
ACHEHNETWORK.COM - Keureuto, sebuah kenegerian uleebalang yang memiliki posisi istimewa di antara wilayah-wilayah terkemuka dan terkaya di Kerajaan Aceh.

Negeri ini begitu padat penduduknya sehingga dijuluki dengan sebutan "Keujreuën Lalat".

Sejarah Keureuto pun memiliki tempat yang terhormat dalam lembaran sejarah.

Pada masa pemerintahan Sultan Aceh, Uleebalang Keureuto turut berpartisipasi dalam musyawarah dan pengambilan keputusan.

Oleh karena itu, melihat potensi yang dimiliki oleh daerah ini, Belanda berusaha untuk menguasainya. 

Setelah Belanda berhasil mengendalikan daerah ini, luasnya wilayah Keureuto pun berkurang dan menjadi bagian dari onderafdeling Lhok Sukon.


Uleebalang pertama yang memerintah Keureuto adalah Teuku Keujreuen Peugamat, dan yang terakhir hingga Indonesia merdeka adalah Teuku Raja Sabi.

Namun, salah satu uleebalang yang sangat terkenal dari daerah ini adalah Cut Nyak Asiah.

Setelah suaminya, Teuku Chik Muhammad Ali, meninggal dunia, Cut Nyak Asiah menggantikannya.

Ia adalah seorang wanita yang tangkas dan bijak dalam berbicara di majelis.

Dalam setiap konsultasi dengan uleebalang cut-nya, ia memimpin pertemuan tersebut tanpa bantuan dari orang lain.


Pernikahan antara Cut Nyak Asiah dan Teuku Chik Muhammad Ali menghasilkan dua orang anak, tetapi keduanya meninggal pada usia dini.

Menurut adat, seorang uleebalang yang meninggal harus digantikan oleh keturunannya.

Oleh karena itu, Cut Nyak Asiah mengambil dua putra dari saudaranya, T. Ben Berghang, yang bernama Teuku Syamsarif dan Teuku Cut Muhammad, sebagai anak-anaknya.

Setelah Cut Nyak Asiah meninggal, Belanda yang telah menduduki Keureuto berusaha menerapkan politik adu domba.

Mereka mengangkat Teuku Syamsarif, yang tidak disukai oleh rakyat dan bersedia bekerja sama dengan Belanda, sebagai uleebalang.

Namun, Teuku Cut Muhammad menolak kerja sama tersebut.

Ia memimpin rakyatnya untuk melawan Belanda dan berjuang di pegunungan bersama mereka.


Dalam peperangan melawan Belanda, Teuku Chik Muhammad bergabung dengan pasukan Teuku Ben Daud.

Sebelumnya, Teuku Chik Muhammad telah berperang bersama Sultan saat Sultan dan Panglima Polem menjadikan Pasè dan Aceh Utara sebagai pusat pertahanan.

Berkat jasanya, akhirnya Teuku Cut Muhammad diangkat sebagai uleebalang Keureuto oleh Sultan dengan surat pengangkatan yang menggunakan cap sikureueng (stempel sembilan).

Karena itu, Keureuto memiliki dua uleebalang, yaitu Teuku Syamsarif yang diangkat oleh Belanda sebagai uleebalang Baroh (dikenal juga dengan nama Teuku Chik Di Baroh atau Teuku Chik Bentara) dan Teuku Cut Muhammad yang diangkat oleh sultan sebagai uleebalang Tunong dan diberi gelar Teuku Chik Tunong.


Teuku Chik Tunong bukanlah orang yang terobsesi dengan pangkat dan kedudukan.

Ia tidak mau tunduk kepada pengaruh asing yang sering kali menghina kehormatan Nusa, Bangsa, dan Agama.

Selalu dianggap sebagai musuh oleh bangsa asing seperti Belanda, ia tidak pernah menyerah pada pengaruh mereka.

Sifat inilah yang ia bawa ketika menjadi uleebalang.


Teuku Chik Tunong bukan hanya seorang uleebalang yang menolak bekerja sama dengan Belanda, tetapi juga seorang pemimpin Muslim yang ditakuti musuh dan dihormati rekan.

Setelah menikah dengan Cut Nyak Meutia, semangatnya dalam perjuangan melawan kekuasaan 

Belanda semakin berkobar karena didukung sepenuhnya oleh sang istri.

Mereka menjadi pasangan yang harmonis, saling mendukung dalam perjuangan melawan penjajah dan kolonialis Belanda.


Tentang perjuangan Teuku Chik Tunong, Zentgraaff (1982: 148) pernah mengomentari dengan kata-kata, "sungguh sebuah kisah yang unik. Ia tiba-tiba seperti kilat, melancarkan serangan-serangan di sana-sini, dan menghilang dengan cepat. Ia cukup bijaksana untuk tidak selalu melakukan perlawanan teratur terhadap pasukan Belanda."

Dalam berperang, Teuku Chik Tunong memiliki strategi yang cerdas dan matang.

Ia dan istrinya, sebelum menghadapi patroli Belanda, selalu menyebarkan mata-mata.

Dengan demikian, mereka dapat mempersiapkan pasukan mereka yang sedang melancarkan operasi yang dianggap strategis.

Cara ini memberikan keuntungan besar karena Belanda sering kali terkejut dan pasukan Teuku Chik Tunong berhasil merampas senjata-senjata anggota pasukan Belanda.


Beberapa kali mereka berhasil menghadang patroli Belanda. Pada tahun 1902, pasukan Teuku Chik Tunong menyerang Detasemen Infanteri di bawah komando Van Steijn Parve yang terdiri dari 30 serdadu.

Dalam pertempuran tersebut, Belanda kehilangan 8 serdadu yang tewas atau terluka, sementara pasukan Teuku Chik Tunong menderita 14 korban jiwa.

Pada bulan Agustus, mereka melancarkan serangan berhasil terhadap pasukan Belanda yang sedang melakukan patroli dari Simpang Ulim menuju Blang Nie.


Teuku Chik Tunong mampu mengetahui jalur yang dilalui oleh pasukan Belanda tersebut dan kemudian menghancurkannya di dekat jalur setapak, tidak jauh dari Meunasah Jeuro.

Salah satu pukulan keras yang diberikan oleh pasukan Teuku Chik Tunong kepada Belanda terjadi pada bulan November 1903.

Saat itu, sebuah pasukan patroli di bawah pimpinan Letnan Kok naik dua perahu yang berangkat dari Krueng Sampoe Niet menuju desa Matang Reyeuk.

Pasukan ini bertujuan untuk menghancurkan pasukan Teuku Chik Tunong yang sedang mengadakan acara kenduri besar.

Namun, ternyata kenduri tersebut hanya tipuan semata.

Sesuai dengan rencana, pasukan Kok akhirnya berhasil dihancurkan oleh pasukan Teuku Chik Tunong.(*)


Dapatkan update berita dan artikel menarik lainnya dari Acheh Network di GOOGLE NEWS

Ikuti kami di Fb Acheh Network Media

Older Posts
Newer Posts