Kelompok Hamas Palestina Menangkap Puluhan Warga Israel, Membuka Pembicaraan Tentang Penahanan di Israel
![]() |
Bangunan hancur di jalur Gaza akibat gempuran Israel (Foto: Reuters) |
News, AchehNetwork.com - Tahun Terakhir ini, ketegangan di Timur Tengah belum kunjung mereda.
Terbaru, kelompok pejuang Hamas Palestina melancarkan aksi mengejutkan dengan menangkap puluhan warga sipil dan tentara Israel, yang kemudian mereka bawa ke Jalur Gaza.
Tindakan tersebut diduga bertujuan untuk digunakan sebagai mata rantai untuk mencapai kesepakatan pembebasan warga Palestina yang saat ini mendekam di penjara-penjara Israel.
Sebagian besar orang mungkin sudah akrab dengan situasi di Gaza, yang sering disebut sebagai "penjara terbuka." Sekitar 2,2 juta penduduk terkurung dalam daerah sempit di pesisir pantai, terkekang oleh blokade yang diterapkan oleh Israel.
Tidak hanya Gaza yang terkendala, namun juga penduduk Palestina lainnya yang tinggal di wilayah pendudukan militer Israel.
Diperkirakan satu dari lima warga Palestina pernah ditahan dan didakwa berdasarkan 1.600 perintah militer yang mengendalikan hampir seluruh aspek kehidupan warga Palestina di bawah pendudukan militer Israel.
Jumlah penahanan terus meningkat, terutama pada pria Palestina, yang hingga dua dari lima orang telah merasakan dinginnya jeruji besi.
Untuk membandingkan, di Amerika Serikat, yang terkenal memiliki populasi penjara terbesar di dunia, hanya satu dari 200 orang yang dipenjarakan.
Namun, situasi Palestina jauh lebih kompleks daripada sekadar statistik penahanan.
Menurut kelompok hak asasi Tahanan Palestina Addameer, sistem penjara Israel adalah mesin mengerikan yang terdiri dari hukum, prosedur, dan kebijakan yang dirancang untuk mengendalikan dan memadamkan segala bentuk perlawanan.
Sejak Israel menduduki Jerusalem Timur, Jalur Gaza, dan Tepi Barat pada tahun 1967, mereka telah menangkap sekitar satu juta warga Palestina.
Saat ini, lebih dari 5.200 warga Palestina berada di balik jeruji besi Israel, termasuk 33 perempuan dan 170 anak-anak. Bila mereka diadili, prosesnya akan berlangsung di pengadilan militer.
Israel mengeluarkan Perintah Militer 101 hanya dua bulan setelah menduduki wilayah Palestina dan Arab pada tahun 1967.
Perintah ini mengkriminalisasi aktivitas sipil yang dianggap sebagai propaganda permusuhan dan larangan hasutan.
Bahkan, perintah ini masih diterapkan di Tepi Barat hingga saat ini.
Lebih jauh lagi, Perintah Militer 101 telah diikuti oleh ratusan perintah militer lainnya yang membatasi ekspresi politik dan sipil Palestina, termasuk larangan partisipasi dalam protes, pencetakan materi politik, pengibaran bendera, dan simbol politik lainnya yang dianggap ilegal oleh Israel.
Tindakan ini melanggar hukum internasional, terutama Konvensi Jenewa Keempat, yang melarang tindakan negara pendudukan yang memindahkan penduduknya dari wilayah pendudukan.
Amnesty International menyebutnya sebagai tindakan yang "melanggar hukum dan kejam."
Namun, masalah yang lebih serius adalah penahanan administratif, yang berarti tahanan ditahan tanpa batas waktu tanpa perlu menghadapi pengadilan atau dakwaan.
Praktik ini masih bertahan sejak era Mandat Inggris dan dapat diperpanjang berdasarkan "bukti rahasia."
Tahanan administratif merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan hukum internasional.
Selain itu, anak-anak Palestina juga terkena dampak sistem penjara ini.
Lebih dari 12.000 anak-anak Palestina telah ditahan oleh pasukan Israel sejak pecahnya Intifada kedua pada tahun 2000.
Setidaknya 700 anak di bawah usia 18 tahun dari Tepi Barat dituntut setiap tahun melalui pengadilan militer Israel setelah ditangkap, diinterogasi, dan ditahan oleh tentara Israel.
Penahanan anak-anak Palestina sering kali disertai dengan penyiksaan fisik dan psikologis, diinterogasi tanpa kehadiran orang tua atau pengacara.
Israel juga telah dituduh mengeksploitasi anak-anak ini untuk menjadi informan dan memeras keluarga mereka secara finansial dengan memaksa membayar denda yang besar.
Israel mengubah undang-undangnya pada tahun 2016 untuk memungkinkan penuntutan anak-anak di bawah 14 tahun.
Sebelumnya, mereka harus menunggu anak-anak tersebut mencapai usia 14 tahun sebelum diadili, seperti kasus Ahmed Manasra yang diadili pada usia 13 tahun.
Situasi penahanan di Israel adalah topik yang memicu perdebatan serius tentang keadilan, hak asasi manusia, dan kebijakan penahanan di tingkat internasional.
Masih banyak yang harus dicapai dalam upaya mencapai perdamaian dan keadilan di Timur Tengah.(*)