24 C
id

Hubungan Kerajaan Aceh dan Pariaman: Kisah Trio Raja Muda Aceh Darussalam yang Mengguncang Pantai Barat Sumatera

Kerajaan Aceh Pariaman
Gambar ilustrasi/net


AchehNetwork.com - Pariaman, sebuah kota pelabuhan di Pantai Barat Sumatera, menjadi saksi perjalanan epik pada abad ke-15 hingga ke-16 M.

Kala itu, kawasan ini, bersama dengan sejumlah pelabuhan lainnya seperti Singkel, Barus, Pasaman, Tiku, dan Padang, secara de facto dan de jure berada dalam cengkraman kuat kerajaan Aceh Darussalam.

Pimpinan saat itu adalah Sultan Alauddin Ri'ayat Syah Al-Qahhar (1537-1571 M), yang menjadikan Pariaman sebagai basis penting untuk perdagangan lada ke India, Tiongkok, dan Eropa.

Menariknya, hubungan Aceh Darussalam dengan Pariaman semakin akrab pada pemerintahan Sultan Alauddin Ri'ayat Syah Al-Qahhar.
Kerajaan Aceh dan Pariaman
Silsilah/lintassumbar.id


Anaknya, Sultan Mughal, ditempatkan sebagai Raja Muda atau wakil Sultan Aceh Darussalam di Pariaman.

Tugasnya mencakup pengawasan terhadap roda pemerintahan, baik dari segi politik, administrasi, maupun ekonomi. 

Sultan Mughal menjadi Raja Muda Aceh Darussalam pertama yang memerintah di Pariaman.

Namun, takdir berkata lain. Pada tahun 1579 M, Sultan Mughal dipromosikan menjadi Sultan Aceh Darussalam ke-6. Gelar barunya, Sultan Mukmin Sri Alam Pariaman Syah, mencerminkan peran barunya dalam pemerintahan.

Namun, masa pemerintahannya hanya berlangsung dua bulan sebelum akhirnya dibunuh. Kursi kekuasaannya diisi oleh keponakannya, Zainal Abidin.

Sultan Mukmin Sri Alam Pariaman Syah menikah dengan Raja Dewi, putri Sultan Munawar Syah dari Raja Indrapura.

Raja Dewi kemudian menjadi ipar dari Sultan Meugat Buyung Alaiddin Ri'ayat Syah, yang menggantikan Sultan Mansyur Syah sebagai Sultan Aceh Darussalam ke-9.

Raja Muda kedua yang mewakili Aceh Darussalam di Pariaman adalah Burhanuddin Syah, putra kedua Syamsul Syah.

Meski penganut mazhab Syi'ah, Burhanuddin Syah memiliki peran yang tidak tercatat dalam hikayat Aceh menurut Hamka.

Versi lain mengenai Raja Muda kedua datang dari dokumen Silsilah Nasab Sultan Aceh, yang menyebutkan Sultan Muda Mahyiddin sebagai wakil Sultan Aceh Darussalam di Pariaman.

Sayangnya, informasi tentang peran Sultan Muda Mahyiddin masih minim.

Generasi berikutnya, Sultan Umar, meneruskan tugas sebagai Raja Muda ke-3 di Pariaman.

Putrinya, Sultanah Kamalat Syah, menjadi salah satu perempuan penguasa Kesultanan Aceh Darussalam.

Ia menikah dengan Sultan Badrul Alam Jamaluddin, membentuk dinasti Arab yang kemudian dihadapkan pada kudeta oleh Pocut Muhammad, seperti yang tertuang dalam "Hikayat Pocut Muhammad".

Puncak kekuasaan Aceh di Pariaman terhenti pada masa pemerintahan Sulthanah Tajul Alam Safiatuddin Syah (1641-1675 M).

Saat itu, sebagian besar wilayah pantai barat Minangkabau melepaskan diri dari cengkraman Aceh, menandai akhir dari era kejayaan mereka di kawasan tersebut.

Meskipun Belanda kemudian menguasai wilayah pantai Barat Sumatera pada abad ke-17, pengaruh Aceh tetap terasa di Pariaman.

Buya Hamka bahkan menyebut bahwa kedudukan Sultan Muda Aceh berada di Padusunan, bukan di Pelabuhan Pariaman, menggambarkan seberapa dalam pengaruh Aceh di kawasan tersebut.

Kisah Trio Raja Muda Aceh Darussalam di Pariaman menjadi sebuah babak sejarah yang menarik, menggambarkan perjalanan penuh liku dan dinamika kekuasaan di Pantai Barat Sumatera.(*)

Artikel ini dikutip dari lintassumbar.id

ARTIKEL TERKAIT

Terupdate Lainnya