24 C
id

Chinatown Makassar: Warisan dan Jejak Budaya Tionghoa yang Berasimilasi di Makassar

Chinatown Makassar
Chinatown Makassar/Net

AchehNetwork.com - Makassar, kota yang menggoda selera dengan ragam kuliner berbasis mi. Mulai dari Mie Titi, Mie Awa, Mie Hengky, Mie Anto, hingga Mie Cheng, setiap hari destinasi makan ini selalu dipenuhi oleh pengunjung yang ingin menikmati kelezatan khasnya.

Namun, di balik kelezatan itu tersimpan sebuah kisah panjang asimilasi budaya. Mi kering yang begitu digemari merupakan warisan yang ditinggalkan oleh komunitas Tionghoa di sana. 

Jejak kuliner ini adalah bukti nyata dari perpaduan budaya yang telah berlangsung selama berabad-abad. Dan tidak hanya dalam bidang kuliner, tetapi juga merambah ke seni dan budaya.


Tidak banyak yang mengetahui bahwa salah satu lagu daerah Makassar, "Ati Raja", ternyata diciptakan oleh Ho Eng Djie, seorang seniman keturunan Tionghoa yang terkenal pada era 1940-an hingga 1950-an.

Sejarah mencatat bahwa kedatangan orang Tionghoa ke Sulawesi Selatan tidak bisa dipastikan secara tepat kapan dimulainya. 

Namun, mereka telah tinggal di sana sejak abad ke-15, saat Kerajaan Gowa-Tallo berkuasa.

Pada masa itu, ibu kota di delta Sungai Jeneberang menjadi pusat perdagangan yang menarik pedagang asing dari Eropa dan Tiongkok untuk berdagang dan menetap. 

Meskipun begitu, catatan sejarah menunjukkan bahwa orang Tionghoa mulai berdatangan sejak abad ke-14.

Di Makassar, terdapat tiga kelompok Tionghoa utama yang telah menetap selama berabad-abad: Hokkian, Hakka, dan Kanton. 

Masing-masing kelompok memiliki bahasa dan kebiasaan yang berbeda. Orang Hokkian diyakini sebagai kelompok Tionghoa pertama yang datang secara massal hingga abad ke-19.


Kelompok Hakka, yang sebagian besar berasal dari Provinsi Kwang Tung, menjadi kelompok terbesar yang datang ke Makassar. 

Sedangkan kelompok Kanton atau Kwan Foe datang belakangan, sekitar abad ke-19, hampir bersamaan dengan kelompok Hakka.

Selain ketiga kelompok utama tersebut, ada juga kelompok Tionghoa lain yang datang ke Makassar dari provinsi lain, meskipun jumlahnya lebih sedikit. 

Saat pertama kali tiba di Sulawesi Selatan, mereka lebih banyak berdagang, bertani, dan menjadi nelayan di sekitar delta Sungai Jeneberang.

Ketika Kerajaan Gowa jatuh ke tangan Belanda dan daerah benteng Somba Opu mulai ditinggalkan, orang Tionghoa mulai bermigrasi ke Makassar. 

Di bawah pemerintahan Belanda, mereka dipusatkan di daerah yang disebut "Chineese Wijk" atau Kampung China, di mana mereka diatur dan diawasi dengan ketat. 

Baru pada awal abad ke-19 mereka mendapat kebebasan untuk keluar masuk dari wilayah tersebut, yang menandai peningkatan peran serta komunitas Tionghoa di Makassar.


Kuliner mi Tionghoa mulai diterima dengan baik oleh masyarakat lokal, dengan contoh terkenal seperti Coto, variasi dari masakan khas Tionghoa. 

Selain itu, pengaruh budaya Tionghoa juga terlihat dalam cara penyeduhan kopi, dengan penggunaan kain penapis yang ditarik ke atas, metode yang diperkenalkan oleh orang Hainan.


Di ranah seni, komunitas Tionghoa juga memberikan kontribusi yang besar. Pada tahun 1940-an hingga 1950-an, mereka memainkan peran penting dalam seni dan budaya Makassar melalui orkes Melayu mereka.


Meskipun bangunan-bangunan khas Tionghoa mulai jarang terlihat di Makassar, dan kawasan Pecinan telah banyak berubah menjadi modern, jejak percampuran budaya ini tetap hidup, terutama melalui kelezatan kuliner khas Makassar. 

Menikmati hidangan khas Makassar berarti merasakan sejarah panjang dan kekayaan budaya yang telah terbentuk selama berabad-abad.(*)

ARTIKEL TERKAIT

Terupdate Lainnya

Iklan: Lanjut Scroll