24 C
id

Penderitaan dan Pelanggaran HAM di Rumoh Geudong: Raja Bersama Istrinya, Cuw'ak Tersadis yang Memukuli Ayahnya

Rumoh Geudong
Rumoh Geudong saat dibakar oleh massa di Bilie Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga, Pidie tahun 1998 (Foto: Steemiet)
ACHEHNETWORK.COM - Gegap gempita mengisi beranda Rumoh Geudong saat Hamzah, warga Gampong Pulo Pante, Kecamatan Keumala, Pidie, tiba dengan kondisi terikat dalam karung goni pada awal Maret 1997.

Ismail, yang juga dikenal sebagai Raja, dengan marah menghajar pria yang akrab disapa Teungku Andah menggunakan rotan.

Tidak puas dengan itu, Raja bahkan menendang dan menginjak-injak karung goni sambil mengeluarkan umpatan kotor.

Namun, mendengar suara Raja dalam keadaan lemas, Teungku Andah dengan nada lirih menyebut "Nyoe Ayah, neuk" (Ini ayah, nak).

Akhirnya, Raja membuka ikatan karung goni dan melihat ayahnya yang tak sadarkan diri. Raja merasa lemah dan terduduk di tempat.

Pada hari itu juga, Teungku Andah dibawa pulang ke rumahnya.

Namun, beberapa tahun kemudian, ia meninggal dunia.

Sejak kejadian itu, kesehatan Teungku Andah semakin menurun akibat pukulan yang ia terima dari anaknya sendiri, Ismail alias Raja.

Teungku Andah adalah seorang pedagang di Keude Keumala dan seorang guru mengaji di Gampong Pulo Pante.

Pada saat itu, kedainya masih berupa bangunan kayu yang menjual pisang, sayuran, bumbu masak, dan peralatan dapur.

Namun, saat ini, kedai-kedai tersebut telah berubah menjadi ruko-ruko bertingkat dari beton.

Kehidupan Teungku Andah berubah saat ia ditangkap dan dibawa ke Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) A-Tidar 00 di asrama TNI di Kota Bakti atau Lameulo, Gampong Pasar, Kecamatan Kota Bakti, Pidie.

Pada awal Maret 1997, Muhammad Yunus, seorang warga Gampong Rului Busu, Kecamatan Mutiara, Pidie, juga ditahan di Pos Sattis A-Tidar 00 di Lameulo.

Di tempat itu, Yunus bertemu dengan Teungku Andah.

Yunus ditangkap karena menemani temannya membawa bahan makanan untuk anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sementara Teungku Andah ditangkap karena tuduhan menjual peralatan dan pisang kepada anggota GAM.

Yunus ditahan di Pos Sattis Lameulo selama satu hari dan satu malam.

Pada hari pertama di sana, Yunus mendengar rencana tentara untuk membawa Teungku Andah ke Rumoh Geudong karena ada Raja di sana.

Teungku Andah akhirnya dimasukkan ke dalam karung goni hijau dan dibawa pergi dengan mobil.

Perlu diketahui bahwa "Apa" adalah panggilan untuk adik ayah atau adik ibu, atau panggilan untuk pria yang lebih tua dalam bahasa Aceh.

Yunus kemudian dibawa ke Pos Sattis Pinto Sa Tiro di Tiro, di mana ia ditahan selama tiga malam sebelum akhirnya dibawa ke Rumoh Geudong.

Selama sembilan bulan, Yunus mengalami penderitaan di Rumoh Geudong.

Ismail alias Raja merupakan anak keempat dari delapan bersaudara. Ia menikah dengan Tihasanah, seorang warga Gampong Amud Mesjid, Kecamatan Glumpang Tiga, Pidie, pada tahun 1993. Pasangan ini memiliki dua anak.

Namun, sejak tahun 1997, Raja tidak pernah lagi pulang ke rumah Tihasanah. Meskipun secara hukum mereka belum bercerai.

Raja kemudian tinggal di rumah Siti Hawa, seorang warga Murong Cot, Kecamatan Sakti, sejak awal tahun 1998.

Siti Hawa sebelumnya pernah menikah dengan Zakaria, seorang warga yang sama dengan mereka. Pasangan itu memiliki satu anak.

Ketika Siti Hawa dibawa pergi oleh Raja, ibunya, Maimunah, yang saat itu berusia 80 tahun, menangis dan berteriak meminta agar anaknya tidak dibawa pergi.

Beberapa hari kemudian, Maimunah pergi ke Rumoh Geudong untuk mencari tahu keberadaan dan keadaan anaknya.

Pada saat itu, Maimunah masih belum mengetahui bahwa mereka telah menikah.

Siti Hawa sendiri pernah pulang ke rumah mereka di Cot Murong beberapa tahun sebelumnya.

Raja dan Siti Hawa memiliki tiga anak dan saat ini tinggal di Kota Batam.

Selama menjadi istri Raja selama periode Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, Siti Hawa sering berada di Rumoh Geudong.

Ia bahkan pernah menuangkan air mendidih ke mulut seorang tawanan yang berasal dari Beureu'eh hingga tawanan tersebut meninggal dunia.

Rumoh Geudong mulai ditempati oleh personel Kopassus TNI Angkatan Darat (AD) pada tahun 1990, namun baru berfungsi sebagai Pos Sattis pada tahun 1995.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam laporan penyelidikan pelanggaran berat HAM di Aceh mengungkapkan bahwa Pos Sattis adalah tempat penyekapan, interogasi, penyiksaan, pemerkosaan, dan eksekusi.

Rumoh Geudong terdiri dari delapan bilik yang dibagi-bagi dengan dinding.

Setiap bilik berukuran sekitar 2 x 3 meter dan dinamai sesuai dengan nama binatang seperti babi, anjing, monyet, kerbau, lembu, dan lain-lain.

Para tahanan yang dipanggil harus menjawab dengan suara binatang sesuai dengan nama bilik tempat mereka disekap.

Ismail alias Raja dan Siti Hawa menghilang dari Pidie bersama dengan penarikan personel TNI non-organik dari Aceh pada bulan Agustus 1998 setelah Presiden BJ Habibie mencabut DOM.

Pada tanggal 20 Agustus 1998, Tim Pencari Fakta (TPF) Komnas HAM tiba di Rumoh Geudong. Saat itu, personel Kopassus telah meninggalkan Rumoh Geudong dan rumah itu.(*)



Sumber: Sinar Pidie

ARTIKEL TERKAIT

Terupdate Lainnya

Iklan: Lanjut Scroll