ACHEHNETWORK.COM - Kisah perjalanan Kerajaan Portugis di wilayah Selat Malaka telah tercatat dalam berbagai sumber sejarah.

Pada tahun 1509 Masehi, di bawah pimpinan Laksamana Kapal Diogo Lopez de Seqqueira, Kerajaan Portugis pertama kali menginjakkan kaki di perairan Selat Malaka.

Mereka awalnya singgah di pelabuhan Kesultanan Aceh Darussalam dengan tujuan berdagang, dan diterima dengan baik oleh Sultan Aceh.

Kemudian, mereka melanjutkan perjalanan ke Kesultanan Malaka dan juga diterima dengan baik oleh Sultan Malaka untuk kegiatan perdagangan.


Namun, gerak-gerik Portugis mulai mencurigakan seiring berjalannya waktu.

Kecurigaan terhadap Portugis membuat Sultan Malaka memerintahkan penangkapan rombongan Laksamana Diogo Lopez de Seqqueira.

Pada abad ke-16, Kerajaan Portugis dan Kerajaan Spanyol mulai hadir di wilayah Asia Tenggara dengan tujuan menggantikan Agama Islam dengan Agama Nasrani, menjalankan misi religius mereka.


Namun, Kesultanan Aceh Darussalam di bawah kepemimpinan Sultan Ali Mughayat Syah dengan tegas menentang upaya Portugis dalam penyebaran Agama Nasrani serta pengaruhnya terhadap kesultanan-kesultanan di Asia Tenggara.

Oleh karena itu, Kesultanan Aceh Darussalam secara terus-menerus melancarkan serangan terhadap Portugis di wilayah Asia Tenggara, berperan besar dalam mempertahankan Agama Islam di kawasan ini.

Selain misi keagamaan, Kerajaan Portugis juga tertarik dengan kekayaan rempah-rempah di Asia Tenggara yang pada saat itu menjadi komoditas yang paling dicari dan bernilai tinggi di pasar dunia.


Proses terbentuknya Kesultanan Aceh Darussalam memiliki berbagai pendapat dari sejarawan lokal maupun mancanegara, dan beberapa manuskrip kuno Aceh juga menyimpan informasi tentang sejarah berdirinya kesultanan ini.

Dalam konteks ini, beberapa pendapat dari sejarawan yang dianggap logis dan setuju dengan pendapat tersebut menyebutkan bahwa Kesultanan Aceh Darussalam terbentuk melalui penggabungan dua kesultanan besar di wilayah Aceh Rayeuk (sekarang Aceh Besar), yaitu Kesultanan Meukuta Alam dan Kesultanan Darul Kamal.


Sejarawan Perancis yang tertarik mempelajari sejarah Kesultanan Aceh Darussalam, Denys Lombard, menjelaskan dengan jelas kronologi pembentukan Kesultanan Aceh Darussalam yang pertama kali, dan ia menyatakan dengan tegas bahwa Sultan Ali Mughayat Syah adalah sultan pertama dan pendiri sejati Kesultanan Aceh Darussalam.

Lombard menulis bahwa Sultan Ali Mughayat Syah adalah sultan pertama dari Kesultanan Aceh Darussalam dan pencetus kekuasaan Aceh yang kuat, yang melandasi perkembangan Kesultanan Aceh Darussalam selanjutnya.

Keberhasilan ini tidak lepas dari bantuan adiknya, Raja Ibrahim.

Meskipun tanggal naik tahtanya Sultan Alauddin Ali Mughayat Syah tidak diketahui dengan pasti, nisan makamnya menunjukkan tanggal wafatnya pada 7 Agustus 1530 Masehi.


Selain pendapat Denys Lombard, terdapat juga informasi dari salah satu manuskrip kuno karya Ulama Gujarat (India), yang juga menjabat sebagai Qadhi Malik al-Adil (penasehat sultan) Kesultanan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Thani (1636-1641 Masehi), yaitu Syekh Nuruddin Ar-Raniry.

Dalam karyanya, Bustan al-Salatin (taman raja-raja), beliau menyatakan bahwa sultan pertama yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam adalah Sultan Ali Mughayat Syah.


Sultan Ali Mughayat Syah merupakan salah satu sultan terkenal dalam sejarah dunia, sebagai seorang pahlawan dan penyatuan kesultanan-kesultanan kecil di sekitar Kesultanan Aceh Darussalam.

Beliau menjadi momok yang menakutkan bagi Kerajaan Portugis.

Sultan Ali Mughayat Syah resmi dinobatkan sebagai Sultan Aceh Darussalam pada tahun 1511 Masehi, dengan gelar "Sri Sultan Alauddin Johan Ali Ibrahim Mughayat Syah Zhilullah Fil ‘Alam".


Pada awal pemerintahannya sebagai Sultan Aceh Darussalam, Sultan Ali Mughayat Syah melancarkan pembangunan besar-besaran di dalam kesultanan tersebut di semua aspek.

Menghadapi ancaman dari Kerajaan Portugis yang sedang gencar mempengaruhi kesultanan di Asia Tenggara, terutama setelah Kesultanan Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511 Masehi, Sultan Ali Mughayat Syah mulai mengambil tindakan.


Dalam upayanya membangun Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Ali Mughayat Syah merancang program-program yang menjadi dasar pembangunan negara, serta memperkuat keyakinan dan kenyataan untuk menjadikan Kesultanan Aceh Darussalam sebagai kekuatan yang tangguh di panggung dunia.


Beberapa program yang dijalankan oleh Sultan Ali Mughayat Syah selama pemerintahannya antara lain:

  1. Sebuah negara tidak dapat berdiri hanya dengan wilayah sekecil kampung, kota, atau beberapa ratus kilometer. Kesultanan yang kuat harus memiliki wilayah luas, setidaknya sebesar wilayah Kesultanan Aceh Darussalam yang menyatukan banyak wilayah di Asia Tenggara, meskipun Kesultanan Melayu yang besar, Malaka, telah jatuh di bawah pengaruh Portugis.
  2. Kejatuhan kekuatan Portugis di tanah Melayu oleh Kesultanan Aceh Darussalam membuktikan bahwa pengaruh bangsa imperialis di tanah Melayu dapat dihalau.
  3. Untuk melawan serangan dari bangsa imperialis, diperlukan pembangunan armada yang kuat dan tangguh.
  4. Memperkuat ekonomi dalam negeri agar tidak mudah digoyahkan oleh pengaruh bangsa imperialis.


Mengacu pada apa yang dikemukakan oleh sejarawan Perancis Denys Lombard, yang mencatat bahwa upaya Sultan Ali Mughayat Syah berhasil dilaksanakan, terbukti dari sumber-sumber Portugis yang menyebutkan kemenangan Sultan Ali Mughayat Syah dalam menaklukkan Kesultanan Haru, Kesultanan Daya, Kesultanan Pedir, dan Kesultanan Samudra Pasai pada tahun 1524 Masehi.


Pada awal berdirinya Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan Ali Mughayat Syah melakukan ekspansi ke kesultanan-kesultanan kecil di sekitar wilayahnya.

Misi besar Sultan Ali Mughayat Syah adalah menghapus pengaruh imperialisme yang dibawa oleh Kerajaan Portugis ke Asia Tenggara.

Beliau juga bertujuan untuk menyatukan kesultanan-kesultanan kecil di Asia Tenggara di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam, menjaga keberadaan Agama Islam, dan menjadikan Kesultanan Aceh Darussalam sebagai pusat peradaban Islam di Asia Tenggara.

Sultan Ali Mughayat Syah bercita-cita untuk membangun sebuah Kekaisaran Islam yang besar di Asia Tenggara.


Pada tahun 1519 Masehi, ketenangan masyarakat Aceh Darussalam diguncang oleh upaya serangan dari armada Kerajaan Portugis di perairan Kesultanan Aceh Darussalam.

Serangan ini dipimpin oleh Panglima Gaspar de Costa di Kuala Aceh. Dalam respons yang cepat, Sultan Ali Mughayat Syah mengirimkan pasukan Aceh Darussalam untuk menghadapi serangan tersebut.

Berkat pemahaman medan perang yang baik, pasukan Aceh Darussalam berhasil memukul mundur armada Kerajaan Portugis.


Akibat kekalahan tersebut, Gaspar de Costa dan bawahannya ditawan oleh pasukan Aceh Darussalam. 

Gaspar de Costa akhirnya dibebaskan setelah Syahbandar Kesultanan Malaka, Nina Cunapam, membayar tebusan kepada Kesultanan Aceh Darussalam.

Gaspar de Costa kemudian kembali ke Malaka. Serangan yang berhasil menghancurkan armada Gaspar de Costa pada tahun 1519 Masehi menyebabkan kemarahan besar Alfonso de Albuquerque, konkuistador Kerajaan Portugis saat itu.


Pada tahun 1521 Masehi, armada perang yang lebih besar dan kuat dibentuk di bawah pimpinan Jorge de Brito dengan kekuatan 200 tentara.

Mereka berangkat dari pangkalan perang mereka di sebelah barat India.

Pasukan Kesultanan Aceh Darussalam siap menghadapi serangan armada Portugis.

Kekuatan tempur Aceh Darussalam mencapai delapan ribu pasukan dengan delapan artileri gajah. 

Untuk kedua kalinya, serangan Kerajaan Portugis dapat dipatahkan dengan telak, bahkan Jorge de Brito tewas dalam pertempuran.


Sisa pasukan Kerajaan Portugis melarikan diri ke Kesultanan Pedir, yang saat itu telah menjadi sekutu mereka, dan pasukan Aceh Darussalam mengejar mereka.

Armada Kerajaan Portugis bersama dengan Sultan Pedir, Sultan Ahmad, melarikan diri ke Kesultanan Samudera Pasai.

Sultan Ali Mughayat Syah terus mengejar mereka dan berhasil mengalahkan perlawanan dari Kesultanan Samudera Pasai yang juga berada di bawah pengaruh Kerajaan Portugis.

Dalam penyerangan ini, armada Kesultanan Aceh Darussalam dipimpin langsung oleh Laksamana Raja Ibrahim, adik Sultan Ali Mughayat Syah, yang ahli dan gagah dalam peperangan.


Sultan Ali Mughayat Syah bercita-cita untuk membangun Kesultanan Aceh Darussalam sebagai Kekaisaran Islam yang hebat dan kuat di Asia Tenggara.

Di sisi lain, beliau juga ingin menentang tuntutan politik bangsa Eropa yang tidak menginginkan adanya kekuatan besar yang dapat mengganggu politik dan ekonomi mereka, seperti yang mereka alami dengan kejayaan Kesultanan Utsmaniyah di Eropa dan Asia Minor.


Cita-cita dan misi Sultan Ali Mughayat Syah terus dijalankan oleh para Sultan Aceh Darussalam selanjutnya, sehingga Kesultanan Aceh Darussalam mencapai puncak kejayaannya dan menjadi Kekaisaran Islam di Asia Tenggara pada abad ke-17 di bawah kepemimpinan keturunan Sultan Ali Mughayat Syah, yaitu Sultan Iskandar Muda.


Melalui cerita yang telah disampaikan dalam berbagai sumber sejarah, jelaslah peran Sultan Ali Mughayat Syah sebagai penyelamat Agama Islam dari ancaman pengaruh Agama Nasrani yang dibawa oleh Kerajaan Portugis ke Asia Tenggara.

Program-program yang digagas oleh Sultan Ali Mughayat Syah berhasil terwujud dan sukses.

Hal ini terbukti dari banyaknya pencapaian misi Sultan Ali Mughayat Syah dalam mengusir dan menghilangkan pengaruh imperialis Portugis di Aceh Darussalam dan wilayah Asia Tenggara.

Sultan Ali Mughayat Syah juga berhasil menyatukan kesultanan-kesultanan yang telah dipengaruhi oleh Portugis, seperti Kesultanan Pedir, Samudera Pasai, dan Kesultanan Daya, sehingga mereka tunduk di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam pada tahun 1521 Masehi.

Sultan Ali Mughayat Syah memiliki peran penting dalam menegakkan dan menjaga kedudukan Agama Islam dari pengaruh Agama Nasrani yang dibawa oleh bangsa imperialis ke Asia Tenggara.


Kesultanan Aceh Darussalam menderita kerugian moral dan materi dalam peperangan melawan Kerajaan Portugis, yang telah menewaskan panglima perang Portugis di medan perang ketika menghadapi kekuatan pasukan Aceh Darussalam yang gagah perkasa.(*)


Artikel ini telah ditulis ulang.

Penulis Asal: Teuku Muhammad Ichsan

Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Jurusan Pendidikan Sejarah

Universitas Syiah Kuala dan Ketua Komunitas Atjeh Heritage.


Dapatkan update berita dan artikel menarik lainnya dari Acheh Network di GOOGLE NEWS

Ikuti kami di Fb Acheh Network Media