Achehnetwork.com - Nama Snouck Hurgronje telah menorehkan sejarah yang tak terlupakan dalam perjuangan bangsa Indonesia, terutama pada masa penaklukan Kesultanan Aceh oleh kolonial Belanda. 

Namun, tak hanya di bumi Serambi Mekkah, namanya juga melegenda di Makkah yang sejati, di Arab Saudi.
Seperti petualangan menantang yang memikat hati, Hurgronje, lulusan teologi dari Universitas Leiden, begitu ingin memahami Islam, ritual haji, dan kehidupan masyarakat di Makkah sehingga ia tinggal selama tujuh bulan di Kota Suci itu.

Belanda yang melahirkan Hurgronje pada tahun 1857 di Oosterhout, memiliki warga yang tak hanya mencatatkan jejak di tanah airnya, namun juga menjelajahi dunia.

Hurgronje adalah salah satunya. Ia begitu tertarik dengan Islam sehingga dilaporkan mengubah keyakinan agamanya dan menjadi mualaf agar dapat menetap di Makkah, mendalami ajaran Islam langsung dari sumbernya.

Jejak langkahnya di Makkah tak luput dari pandangan mata, serta karya-karya fotografinya yang kini dipamerkan di Dubai Financial Center dengan judul menarik, 'Makkah, Sebuah Petualangan Berbahaya.'

Galeri ini mengungkap betapa Hurgronje begitu mempesona dengan berbagai agama, namun khususnya tertarik pada ajaran dan sistem kepercayaan Islam. Bahkan, ia fasih berbahasa Arab.

Pada tahun 1880, Hurgronje menulis tesis doktornya yang berjudul "Het Mekkansche Feest" (Pesta Makkah), menggambarkan ibadah haji dan adat istiadatnya.

Saat itu, pemerintah Eropa mulai memperhatikan dukungan yang diberikan oleh penduduk Muslim terhadap upaya kemerdekaan wilayah koloni Eropa, termasuk Belanda.

Makkah dipandang sebagai tempat di mana para pejuang Muslim fanatik berkumpul.

Tahun 1884, dengan dukungan pemerintah Belanda, Hurgronje dikirim ke Jeddah untuk meneliti kehidupan Muslim fanatik di Makkah.

Namun, tak hanya tujuan ilmiah yang membawanya ke Tanah Suci, ia juga memiliki kepentingan pribadi.

Sebagai non-Muslim, Hurgronje pertama kali mencoba mendekati kalangan elit di Jeddah.

Dengan keberanian dan kejujuran yang luar biasa, Hurgronje secara terang-terangan menyatakan diri sebagai seorang mualaf, mengadopsi Islam untuk mendapatkan kepercayaan dari warga dan pejabat pemerintah di Makkah.

Bahkan, ia dikenal dengan sebutan Abd Al-Ghaffar.

Strategi ini akhirnya membuka pintu baginya untuk memasuki Makkah, dan perjalanannya diatur pada 21 Januari 1885.

Tujuh bulan penuh ia menghabiskan waktu di Makkah, menyaksikan, mencatat, dan mempelajari kehidupan masyarakat setempat.

Salah satu hal yang menarik perhatiannya adalah pasar budak, yang menjadi salah satu yang terbesar di dunia.

Hurgronje terpesona oleh perlakuan manusiawi yang diberikan kepada budak-budak, seolah-olah mereka adalah anggota keluarga.

Kehidupan wanita di Makkah juga menarik perhatiannya. Ia membandingkan status sosial, mode, dan kebebasan yang diberikan kepada wanita Makkah dengan wanita di kota-kota Timur lainnya.

Namun, ketertarikan besar Hurgronje pada Makkah juga menimbulkan kecurigaan di negara-negara Eropa lainnya.

Terungkap bahwa ia sebenarnya seorang mata-mata, penipu, dan termasuk dalam kalangan orientalis saat itu.

Seiring dengan pernikahannya dengan seorang wanita Ethiopia, ia akhirnya dideportasi dari Arab Saudi atas permintaan pemerintah Prancis yang menuduhnya mencuri batu Taima.

Harus dengan hati berat, Hurgronje meninggalkan Makkah dengan tergesa.

Namun, ia tak lupa mengumpulkan catatan dan foto-foto berharga yang ia peroleh selama tinggal di Makkah.

Peralatan fotografi ditinggalkannya...

Lanjut Halaman 2...

Peralatan fotografi ditinggalkannya dan diserahkan kepada teman dekatnya, Al-Sayyid Abd Al-Ghaffar, seorang mahasiswa fotografi.

Setelah kembali ke Belanda, tak banyak kabar yang bisa ditemukan tentang nasibnya.

Apakah ia tetap memegang teguh agama Islamnya atau kembali ke agama asalnya, tak ada yang pasti. 

Namun, banyak karya yang dibuatnya tentang Islam dan budaya di Makkah.

Mungkin karena karyanya yang berharga itulah, hubungannya dengan petinggi Arab Saudi berjalan dengan baik.

Dalam tanda persahabatan yang kuat, Pangeran Saud dari Kerajaan Saudi bahkan mengunjungi Belanda tiga kali dalam periode 1926-1935, sebagai tanda penghargaan atas hubungan tersebut.(*)

Dapatkan update berita dan artikel menarik lainnya dari Acheh Network di GOOGLE NEWS

Ikuti kami di Fb Acheh Network Media