24 C
id

Tradisi Lamaran dan Pernikahan di Era Kesultanan Aceh: Antara Kebermaknaan dan Perubahan

Hikayat Aceh, Adat Lamaran dan Pernikahan, Kesultanan Aceh, Sultan Mansur Syah, Putri Raja Indra Bangsa, Bustanussalatin, Sultan Iskandar Tsani, Ratu Safiatuddin, Tradisi Pertunangan, Adat Istiadat Aceh
Ilustrasi (Steemit)


Oleh Muammar Al Farisi

Dosen STIS Sabang. Pemerhati Sejarah Aceh



Acheh Network - Hikayat Aceh menggambarkan secara rinci tentang upacara lamaran dan pernikahan yang berlangsung di zaman Kesultanan.

Pada masa tersebut, pertunangan identik dengan lamaran.

Salah satu kisah yang tercatat dalam Hikayat Aceh adalah lamaran antara Sultan Mansur Bin Sultan Abdul Jalil dengan Putri Raja Indra Bangsa Binti Sultan Sayyidil Mukammil.

Dalam tradisi Aceh pada masa kesultanan, lamaran adalah langkah awal yang melibatkan pengiriman hadiah istimewa sebagai tanda niat baik.

Dalam kasus ini, Sultan Abdul Jalil Bin Sultan Alaiddin Al Kahar bin Sultan Ali Mughayat Syah Bin Sultan Syamsu Syah Bin Sultan Munawar Syah Meukuta Alam mengirimkan hadiah Telangkai (Seulangke) kepada Sultan Sayyidil Mukammil Bin Sultan Firman Syah Bin Sultan Muzaffar Syah Bin Sultan Inayat Syah, sebagai bagian dari usaha melamar Putri Indra Bangsa untuk putranya, Sultan Mansur Syah.


Sultan Sayyidil Mukammil dengan penuh keramahan menyambut kedatangan utusan tersebut.

Utusan Sultan Abdul Jalil menjelaskan bahwa hanya Putri Raja Indra Bangsa yang setara dengan Sultan Mansur Syah, karena garis keturunannya dari Darul Kamal sehingga seimbang dengan keturunan Sultan Meukuta Alam.

Setelah lamaran diterima, Sultan Abdul Jalil mengirimkan Raja Permaisuri dan rombongan yang membawa sirih (Intat Ranub) yang dihiasi dengan emas dan perak kepada Sultan Syah Alam Sayyidil Mukammil.

Raja Permaisuri dan rombongan membawa pula perhiasan yang mewah di atas gajah.

Pada pertemuan di istana, para hadirin disuguhkan dengan sirih yang dihadirkan oleh Raja Permaisuri dan Seri Dewi.

Syah Alam mengambil sirih tersebut dan memakannya. Sirih lainnya disajikan kepada pembesar dan keluarga kerajaan yang hadir. Selanjutnya, utusan Sultan Abdul Jalil dijamu dengan jamuan mewah ala istana.

Syah Alam juga mengirimkan sirih berperhiasan sebagai tanggapan positif kepada utusan tersebut, yang dihargai oleh Sultan Abdul Jalil.

Pada akhirnya, ditetapkanlah tanggal pernikahan dan acara pernikahan dilangsungkan. Pernikahan Sultan Mansur Syah dan Putri Raja Indra Bangsa menghasilkan lahirnya Sultan Iskandar Muda Perkasa Alam (1607-1636 M). Hikayat Aceh mengulas dengan detail mengenai adat lamaran dan pernikahan ini.


Hikayat Bustanussalatin, karya Syeikh Nuruddin Ar Raniri, juga mendokumentasikan pernikahan antara Sultan Iskandar Tsani dan Seri Alam Permaisuri Sultanah Tajul Alam Safiatuddin.

Setelah Sultan Iskandar Muda menaklukkan Pahang, Iskandar Tsani dibawa ke Aceh.

Melihat potensinya, Sultan Iskandar Muda ingin menikahkan Iskandar Tsani dengan putrinya, Sultanah Safiatuddin.

Sultan Iskandar Muda memanggil para pemimpin dan pembesar kesultanan serta ulama untuk membahas pernikahan ini.

Iskandar Tsani dinikahkan dengan Sultanah Safiatuddin oleh Qadhi Malikul Adil. Pernikahan ini dihiasi dengan keindahan dan kemegahan, termasuk penggunaan maligai (bangunan yang dihiasi) dan perhiasan mewah.


Dalam perjalanannya, kedua pengantin Dara Baro dan Linto Baro mengenakan pakaian kebesaran yang sesuai dengan posisi mereka.

Mereka mengelilingi Masjid Raya Baiturrahman dengan rombongan kerajaan yang megah.

Rakyat pun dikumpulkan untuk ikut serta dalam perayaan ini.

Rombongan termasuk gajah dan kuda yang dihias mewah, serta disertai pemberian sedekah bagi rakyat.


Namun, di era modern, makna pertunangan di Aceh telah mengalami pergeseran yang signifikan dari adat tradisional.

Pertunangan kini sering kali tidak lagi mengikuti prinsip kesakralan dan adat Aceh.

Pernikahan juga dapat mengalami penundaan bertahun-tahun, dengan denda yang dikenakan jika pertunangan dibatalkan.

Hal ini berbeda dengan prinsip adat Aceh yang menekankan kesuciannya.


Tren ini perlu mendapatkan perhatian dan dukungan dari berbagai pihak, termasuk ulama dan tokoh adat, agar adat istiadat Aceh dapat terjaga dan sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Dalam sejarah Aceh, adat istiadat senantiasa bersifat adaptif terhadap ajaran agama Islam.

Kedua aspek ini selalu beriringan, sehingga penting bagi masyarakat Aceh untuk merujuk pada prinsip-prinsip ini dalam menjaga kesucian dan keabsahan tradisi pertunangan dan pernikahan.


Mungkin perlu diterbitkan fatwa resmi oleh MPU Aceh untuk mengklarifikasi masalah pertunangan ini sebelum kebiasaan modern ini menjadi norma yang mengancam integritas adat istiadat Aceh.

Seperti yang disabdakan oleh Sultan Iskandar Muda:

"Mate Aneuk meupat jeurat, Gadoh Adat Pat Tamita" yang berarti kehilangan adat istiadat sama dengan kehilangan kebesaran suatu bangsa.(*)

ARTIKEL TERKAIT

Terupdate Lainnya

Iklan: Lanjut Scroll