24 C
id

Cut Nyak Dhien: Perjuangan Heroik Melawan Penjajah Belanda di Tanah Aceh, Ternyata Keturunan Minang

Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien


AchehNetwork.com - Cut Nyak Dhien, seorang Pahlawan Nasional Indonesia, lahir pada 12 Mei 1848 di Aceh Besar, wilayah VI Mukim.

Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari Minangkabau.

Datuk Makhudum Sati merupakan keturunan dari Laksamana Muda Nanta yang merupakan perwakilan Kesultanan Aceh pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Pariaman.

Datuk Makhudum Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir.

Sedangkan ibunya merupakan putri uleebalang Lampageu.

Sebagai anak dari keluarga bangsawan yang taat beragama, kehidupan awalnya penuh dengan pendidikan agama dan keterampilan rumah tangga.

Pada usia yang masih sangat muda, tepatnya 12 tahun, ia dinikahkan dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, seorang pejuang dari uleebalang Lamnga XIII, dan mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.


Perjuangan Cut Nyak Dhien melawan penjajah Belanda dimulai ketika Belanda menyatakan perang kepada Aceh pada 26 Maret 1873.

Pada perang pertama (1873-1874), Aceh berhasil memenangkan pertempuran, namun perlawanan semakin sengit ketika daerah VI Mukim jatuh ke tangan Belanda pada tahun 1874.

Ibrahim Lamnga, suami Cut Nyak Dhien, gugur di Gle Tarum pada 29 Juni 1878, memicu semangat perlawanan yang lebih kuat dari Cut Nyak Dhien.


Pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar, seorang pejuang Aceh yang gigih melawan penjajah.

Dari pernikahan ini, mereka memiliki seorang anak bernama Cut Gambang. Namun, tragedi kembali melanda ketika Teuku Umar gugur pada 11 Februari 1899 setelah mengkhianati Belanda.


Setelah kematian suaminya, Cut Nyak Dhien memimpin pasukan kecilnya sendiri di pedalaman Meulaboh.

Meskipun usianya sudah relatif tua dan kondisinya tidak sehat, termasuk menderita encok dan rabun, dia tetap gigih melawan penjajah.

Sayangnya, pasukannya semakin berkurang dan sulit memperoleh dukungan.


Pada tahun 1901, Belanda semakin intensif dalam mengejar Cut Nyak Dhien. Anak buahnya, Pang Laot, melaporkan lokasi markasnya, dan pada akhirnya, Cut Nyak Dhien ditangkap.

Meski mencoba bertempur dengan sekuat tenaga, dia tidak dapat menghindari penangkapan. Akhirnya, ia dibawa ke Banda Aceh dan dirawat oleh Belanda.


Meskipun berhasil sembuh dari penyakitnya, Cut Nyak Dhien diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat, pada tahun 1906.

Belanda takut kehadirannya akan memicu semangat perlawanan di Aceh, dan dia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.

Di Sumedang, dia dijuluki "Ibu Perbu" dan menjadi guru mengaji bagi warga setempat.


Pada 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal dalam usia tua. Identitas aslinya tidak diketahui oleh warga Sumedang hingga akhir hidupnya. Baru pada tahun 1959, atas permintaan Gubernur Aceh Ali Hasan, makam Cut Nyak Dhien ditemukan.

Presiden Soekarno kemudian mengakui Cut Nyak Dhien sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada 2 Mei 1964 melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964.

Sebagai penghormatan, nama Cut Nyak Dhien diabadikan sebagai Bandar Udara Cut Nyak Dhien Nagan Raya di Meulaboh.

Perjuangannya yang heroik terus diingat dan menginspirasi generasi penerus untuk mencintai dan mempertahankan tanah air.(*)

ARTIKEL TERKAIT

Terupdate Lainnya

Iklan: Lanjut Scroll