24 C
id

Perlawanan Aceh Melawan Penjajah Belanda: Dari Lahirnya Lembaga Wali Nanggroe hingga Kepemimpinan Teungku Chik Di Tiro

Teungku Chik Ditiro
Lukisan Teungku Chik Ditiro/Foto: Biografi Pahlawan


AchehNetwork.com - Pada tanggal 28 Januari 1874, sejarah Aceh mencatat peristiwa penting dengan meninggalnya Sultan Alaidin Mahmud Syah di Lueng Bata.

Momen ini menjadi titik awal perubahan besar dalam pemerintahan Aceh, di mana putra mahkota Muhammad Daud Syah diangkat sebagai raja.

Namun, pengangkatan ini hanyalah simbol, karena pemerintahan sebenarnya dijalankan oleh kabinet perang. Pada hari yang sama, lembaga Wali Nanggroe pun dibentuk.


Inisiatif pembentukan lembaga Wali Nanggroe berasal dari musyawarah yang diprakarsai oleh Ketua Majelis Tuha Peuet Kerajaan Aceh, Tuanku Muhammad Raja Keumala.

Tujuan utama lembaga ini adalah untuk mempersatukan rakyat Aceh di bawah satu komando, khususnya dalam melawan penjajah Belanda yang sedang mengancam.

Para ulama dan kabinet perang Aceh, yang tergabung dalam Majelis Tuha Peuet Kerajaan Aceh, turut hadir dalam rapat pembentukan lembaga ini.


Keputusan untuk membentuk lembaga Wali Nanggroe diambil dalam musyawarah pada 28 Januari 1874.

Tuanku Muhammad Raja Keumala memimpin keputusan tersebut dengan tujuan mempersatukan rakyat Aceh dalam perang melawan penjajah Belanda.

Diangkatlah Teungku Chik Di Tiro dengan gelar Al Malik Al Mukarram Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman Bin Abdullah sebagai Wali Nanggroe.


Peran Wali Nanggroe, dalam hal ini Teungku Chik Di Tiro, menjadi sangat signifikan dalam mempersatukan dan memimpin perlawanan rakyat Aceh.

Bersama ribuan pejuang Aceh, Wali Nanggroe giat melakukan serangan terhadap bivak-bivak dan benteng pertahanan Belanda.

Pasukan Belanda merasa kesulitan menghadapi taktik gerilya yang digunakan oleh pejuang Aceh di bawah kepemimpinan Teungku Chik Di Tiro.


Meskipun Gubernur Sipil dan Militer Belanda, Jenderal Laging Tobias, mencoba menjalin perdamaian dengan Teungku Chik Di Tiro, upaya tersebut tidak membuahkan hasil.

Perang terus berkecamuk, dan Belanda akhirnya mengambil kebijakan "Lini Konsentrasi" yang melibatkan penempatan tentara Belanda dalam kamp-kamp dan benteng-benteng terpusat untuk menghindari konflik langsung.


Kebijakan ini, meski menciptakan benteng-benteng di wilayah Aceh Besar yang dihubungkan dengan lori, ternyata tidak mampu memaksa pasukan Aceh menyerah.

Sebaliknya, perlawanan terus berlanjut dengan pasukan Aceh terus menyerang. Kebijakan ini juga memakan banyak anggaran Belanda, sementara moral pasukan yang terkurung dalam benteng turun drastis.


Teungku Chik Di Tiro dan pasukannya terus menjaga semangat perlawanan, bahkan mengirim surat-surat ancaman dan ajakan berperang kepada pasukan Belanda yang terkurung dalam benteng.

Kondisi tersebut membuat mental pasukan Belanda semakin menurun, hingga akhirnya Belanda keluar dari Aceh pada tahun 1942 setelah 69 tahun perang tanpa perolehan pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Aceh.

Untuk informasi lebih lanjut, dapat merujuk pada beberapa buku sejarah seperti "Perang Sabi Menjiwai Perang Aceh Lawan Belanda" oleh Prof. Ali Hasjmy dan "The Dutch Colonial War In Aceh" yang diterbitkan oleh PDIA pada tahun 1990.(*)


Sumber: AcehInfo.id

ARTIKEL TERKAIT

Terupdate Lainnya

Iklan: Lanjut Scroll