24 C
id

Warisan Budaya Gayo dan Tradisi Sumang: Menjaga Keberlanjutan Kekayaan Budaya di Aceh

Budaya Gayo
Tari Tradisional Gayo/Foto Via Kompas.com


AchehNetwork.com - Indonesia, negeri kepulauan yang meliputi Sabang hingga Merauke, merupakan tempat beraneka ragam etnis, budaya, dan agama.

Dari suku Aceh, Gayo, Jawa, dan Sunda hingga Betawi, setiap kelompok etnis ikut menyumbang dalam warna-warni lanskap budaya Indonesia.

Keberagaman budaya di antara kelompok etnis tersebut tercermin dalam adat istiadat unik, bahasa daerah, tradisi, dan aspek lain yang memperkaya lanskap kultural Indonesia, menciptakan negara yang hidup dan dinamis.

Manusia sangat terkait erat dengan adat dan budayanya, di mana ekspresi budaya ini membentuk identitas mereka.

Budaya menduduki posisi sentral dalam setiap aspek kehidupan manusia, menjadi fondasi di atasnya masyarakat dan individu berkembang.

Salah satu daerah yang teguh mempertahankan adat dan budayanya adalah Aceh, terutama di Aceh Tengah dan sekitarnya.

Di wilayah ini, masyarakat Gayo, yang terkenal dengan ketaatannya pada prinsip Islam dan adat tradisional, memainkan peran penting.

Dataran Tinggi Gayo terkenal dengan kepatuhan penduduknya terhadap Islam dan rasa hormat yang mendalam terhadap praktik budaya dan adat-istiadat.

Sebelum Islam masuk ke Aceh, pengaruh Hindu dan Buddha sudah kuat terintegrasi dalam tradisi dan kepercayaan lokal.

Meskipun Islam berkembang di Aceh, berbagai adat tradisional masih tetap dilestarikan oleh komunitas lokal.

Namun, tak dapat dipungkiri bahwa nilai-nilai Islam menjadi pedoman utama. 

Keragaman etnik dan budaya di Aceh telah menghasilkan beragam adat di daerah tersebut.

Meskipun terdapat keberagaman, budaya, dan adat istiadat yang berbeda di setiap daerah, Aceh tetap tak terpisahkan dari Islam.

Keselarasan budaya Islam dengan berbagai aspek kehidupan, terutama di kalangan masyarakat Gayo, sangat jelas terlihat.

Pelestarian budaya diwariskan secara turun-temurun untuk memastikan kelangsungan dan perkembangan budaya tersebut. Dalam masyarakat Gayo, terdapat larangan-larangan yang dikenal sebagai "sumang" yang dirancang untuk membimbing dan mendidik generasi berikutnya menuju perilaku yang mulia.

Sumang berfungsi sebagai kontrol sentral bagi perilaku sosial, memengaruhi hubungan antarpribadi dalam keluarga dan lingkungan sosial yang lebih luas, membentuk dan membina masyarakat yang beradab.

Sumang, menurut tradisi Gayo, fokus utamanya adalah pada interaksi antara individu berjenis kelamin berbeda dan mereka dengan status sosial lebih tinggi. 

Ada empat jenis sumang: Sumang Kenunulen, Sumang Percerakan, Sumang Pelangkahan, dan Sumang Penengonen.


1. Sumang Kenunulen


Sumang Kenunulen (Sumang Saat Duduk) menangani perilaku tidak etis saat duduk, seperti orang dewasa yang tidak berhubungan darah duduk bersama tanpa pendamping atau terlibat dalam aktivitas meragukan di tempat sepi.


2. Sumang Percerakan


Sumang Percerakan (Sumang dan Proses Pembicaraan) merujuk pada konten atau lokasi pembicaraan yang tidak pantas, termasuk orang dewasa yang berbicara hal yang tidak wajar kepada orang tua/mertuanya atau kepada orang yang lebih tua.


3. Sumang Pelangkahan


Sumang Pelangkahan (Sumang Perjalanan) berkaitan dengan perjalanan yang mungkin mengarah kepada tindakan dosa, terutama yang melibatkan pria dan wanita yang bukan suami istri atau bukan muhrim bepergian bersama-sama ke tempat terbuka atau sepi.


4. Sumang Penengonen 


Sumang Penengonen (Sumang Melihat) mencakup pandangan atau pengamatan yang tidak pantas, seperti orang dewasa melihat dengan sikap sinis kepada orang tua atau yang lebih tua, atau pria yang sengaja melihat aurat wanita dan sebaliknya.


Dalam masyarakat Gayo, larangan-larangan sumang ini memainkan peran penting dalam menjaga harmoni sosial, mencegah perilaku yang tidak baik, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam.

Sinergi antara tradisi budaya dan prinsip-prinsip Islam sangat terlihat dalam praktik sumang yang cermat.

Penerapan Syariat Islam di masyarakat Gayo tetap erat terkait dengan adat setempat.

Adat, yang berasal dari bahasa Arab, merujuk pada berbagai praktik adat istiadat.

Adat dipandang sebagai hukum yang tidak tertulis yang mengatur interaksi sosial dan sangat terkait dengan nilai-nilai spiritual dalam budaya Gayo.

Adat Gayo sesuai dengan prinsip-prinsip etika al-karimah, membentuk interaksi sosial berdasarkan agama dan adat, mendorong tindakan baik, dan mencegah perilaku yang salah.

Ungkapan "Edet mengenal hukum mubeza, kuet edet muperala agama, renggang edet benasa agama" menekankan pentingnya menjaga adat untuk memelihara agama.

Adat dan ajaran Islam tidak saling mengecualikan; sebaliknya, keduanya saling melengkapi dan mendukung.

Adat dijadikan sebagai pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Gayo, memastikan bahwa nilai-nilai budaya sejalan dengan harapan prinsip-prinsip Islam.

Salah satu aspek signifikan dari budaya Gayo adalah praktik sumang, sebuah warisan budaya yang tak terpisahkan dari masyarakat.

Dengan merangkul sumang sebagai kearifan lokal, diharapkan nilai-nilai positifnya, yang berakar dalam norma dan tradisi masyarakat Gayo, dapat mengurangi dampak globalisasi.

Hal ini akan menanamkan rasa penghargaan terhadap budaya lokal, terutama di kalangan pemuda di Dataran Tinggi Gayo, di tengah perkembangan pesat globalisasi dan teknologi.(*)


Artikel ini dikutip dari Riders.id
yang ditulis oleh Elicia Eprianda,
Mahasiswa Sosiologi Agama, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

ARTIKEL TERKAIT

Terupdate Lainnya

Iklan: Lanjut Scroll