24 C
id

Laut Aral, Dulu Danau Terbesar ke Empat di Dunia yang Kini Menyusut Jadi Gurun Tandus dan Gersang, Akibat Ulah Manusia

Laut Aral
Penampakan bangkai kapal di atas tanah bekas laut/ sumber foto: Britanica


AchehNetwork.com - Pada tahun 1960-an, Uni Soviet memulai proyek ambisius untuk mengubah wajah dataran gersang di Kazakhstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan. 

Dua sungai besar, Syr Darya dan Amu Darya, menjadi pahlawan dalam proyek megah ini. 

Mereka tidak hanya menjadi penyokong kehidupan bagi gurun tandus, tetapi juga menjadi instrumen bagi perubahan dramatis dalam lanskap regional.

Dengan menggunakan sungai-sungai ini sebagai sumber air, Uni Soviet menciptakan maha karya insinyur yang luar biasa: proyek pengalihan air yang mengubah gurun menjadi ladang subur yang dihiasi dengan tanaman kapas dan hijau-hijau lainnya. 

Namun, sementara gurun berkembang pesat, ada satu korban besar yang terpinggirkan dalam keberhasilan ini: Laut Aral.

Laut Aral, yang dulunya adalah mahakarya alam yang mempesona, menjadi saksi bisu dari ambisi manusia yang berlebihan. 

Dulu, itu adalah danau terbesar keempat di dunia, tetapi sekarang, itu adalah bayangan kering dari masa lalu yang gemilang.

Gambar-gambar dari satelit Terra milik NASA, dengan teknologi canggihnya, merekam perubahan dramatis ini. 

Pada awal abad ke-21, Laut Aral menyusut dengan cepat, seperti tubuh yang kehilangan kehidupan yang mengalir darinya. 

Bagian utara dan selatan terpisah, terputus oleh pembangunan tanggul dan bendungan Kok-Aral oleh Kazakhstan.

Tanggul ini bukan hanya memisahkan dua bagian dari laut yang sedang menyusut, tetapi juga menyelamatkan sebagian dari kehidupannya. 

Di Laut Aral Utara, di balik tembok perlindungan ini, perikanan mengalami kebangkitan. 

Namun, di Laut Aral Selatan, cerita yang berbeda terungkap.

Laut Aral Selatan menjadi korban terberat dari ambisi manusia. Lobus-lubusnya menyusut, bahkan yang paling timur hilang sama sekali pada tahun 2014. 

Air yang tersisa menjadi semakin asin dan tercemar oleh limbah pertanian, menciptakan bahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan sekitarnya.

Debu-debu yang terbawa angin dari dasar yang terbuka dari Laut Aral menjadi mala petaka bagi lahan pertanian di sekitarnya. 

Tanah yang subur dihantam oleh debu asin, merusak kehidupan yang berusaha bertahan. 

Dan dengan hilangnya pengaruh moderat dari massa air yang besar itu, musim dingin menjadi lebih dingin, dan musim panas menjadi lebih panas dan kering.

Meskipun demikian, ada semacam harapan yang bersinar di tengah keputusasaan. 

Meskipun hanya sebagian kecil dari apa yang dulu ada, Laut Aral masih bertahan, menjadi simbol perjuangan manusia melawan kerusakan yang mereka sebabkan sendiri. 

Kazakhstan melakukan apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan apa yang tersisa, meskipun itu hanya sekadar menyisakan jejak dari kejayaan masa lalu.

Dalam saga epik ini, ada pelajaran yang dalam tentang ambisi dan konsekuensinya. Sungai yang dulunya membawa kehidupan, sekarang menjadi pembawa cerita tentang keserakahan dan kerugian yang terlalu besar untuk diperbaiki. 

Namun, di tengah-tengah puing-puing ini, ada harapan: harapan bahwa manusia akan belajar dari kesalahan masa lalu dan merangkul kebijaksanaan untuk menjaga alam semesta yang rapuh ini.(*)

Sumber: earthobservatory.nasa

ARTIKEL TERKAIT

Terupdate Lainnya

Iklan: Lanjut Scroll