24 C
id

Kesenian Islam Aceh Yang Sudah Melekat Semenjak Berabad Yang Silam

Seni Islam Aceh
Salah stu contoh seni islam kaligrafi dinding[]photo mapesaaceh.com

ACHEH NETWORK - Aceh merupakan daerah yang tercatat menjadi daerah berdirinya negara islam pertama pada asia tenggara dan  terus berkembang secara signifikan sampai abad ke-20. Dipelopori oleh 𝘋𝘢𝘶𝘭𝘢𝘩 𝘚𝘩𝘢𝘭𝘪𝘩𝘪𝘺𝘺𝘢𝘩 atau kesultanan sumatra-pasai (abad ke-13–16) yang beribukota di 𝘔𝘢𝘥𝘪𝘯𝘢𝘩 𝘚𝘺𝘶𝘮𝘮𝘶𝘵𝘩𝘳𝘢𝘩/kota sumatra (aceh utara), kemudian diikuti 𝘔𝘢𝘮𝘭𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘓𝘢𝘮𝘶𝘳𝘪 (abad ke-14–15) yang beribukota di bandar lamuri (aceh besar ), dan  ditutup menggunakan periode panjang kesultanan 𝘈𝘤𝘦𝘩 𝘋𝘢𝘳𝘶𝘴𝘴𝘢𝘭𝘢𝘮 (abad ke-16–20) yang beribukota di 𝘉𝘢𝘯𝘥𝘢𝘳 𝘈𝘤𝘦𝘩 (banda aceh). Selain itu pada abad ke-16 wilayah 𝘗𝘦𝘥𝘪𝘳 (pidie/ pidie jaya) serta 𝘋𝘢𝘺𝘢 (aceh jaya) juga merupakan galat satu negara islam yang mempunyai pemimpin   (𝘴𝘶𝘭𝘵𝘢𝘯) sendiri dan  secara politik keduanya terhubung menggunakan penguasa pada bandar aceh.

Dokumen kartografi abad ke-16 hingga abad ke-18 hampir selalu konsisten menyebut wilayah: 𝘈𝘤𝘦𝘩, 𝘋𝘢𝘺𝘢, 𝘗𝘦𝘥𝘪𝘳, 𝘥𝘢𝘯 𝘗𝘢𝘴𝘢𝘪. Keempat wilayah tadi merupakan kota pelabuhan internasional yg dikelola penguasa muslim. Ketika itu daerah lamuri telah ditandai menjadi aceh, sebab kedekatan geografis serta pula faktor kekerabatannya. Selain kota pelabuhan besar , pelabuhan kecil ditemukan hampir di seluruh teluk yg umumnya terdapat muara sungai, baik pada pesisir timur juga barat aceh. Bandar-bandar itu telah bertahan sampai abad ke-19, seperti yang terekam dalam peta asia tenggara buatan aceh zaman 𝘚𝘶𝘭𝘵𝘢𝘯 '𝘈𝘭𝘢𝘶𝘥𝘥𝘪𝘯 𝘔𝘢𝘯𝘴𝘩𝘶𝘳 𝘚𝘺𝘢𝘩 (wafat tahun 1869).

Selat malaka merupakan pemain kunci dalam jaringan bergerak maju perdagangan maritim serta pertukaran budaya yg membentang dari timur hingga barat. Menjadi tempat tumbuh serta berkembangnya negara maritim islam dalam kurun ketika yang lama  , menggunakan beberapa pelabuhan internasionalnya yang berada pada gerbang selat malaka, aceh telah mendapatkan poly limpahan kebudayaan, termasuk berasal pusat-sentra islam. Berangkat asal itu seluruh, tentunya aceh mempunyai peti penyimpanan (𝘬𝘩𝘢𝘻𝘢𝘯𝘢𝘩) seni islam yg kaya. Sang karena itu penting bagi kita (generasi aceh) membuka dan  mengenali hartanya, kemudian menyusun, merapikan, dan  mengaplikasikannya pulang menyesuaikan kemajuan zaman.

Dalam islam penghindaran gambar makhluk hayati (anikonisme) sangat ditekankan. Meski bukan sepenuhnya ditinggalkan (karena perbedaan interpretasi), yang kebanyakan terjadi di daerah tak penutur arab, mirip miniatur pada manuskrip dan  keramik persia, pula tradisi lainnya seperti miniatur 'utsmani dan  lukisan mughal. Pada aceh, anikonisme terlihat kentara di warisan seninya. Walaupun sebagian pemerhati seni mewaspadai adanya penggunaan secara tak berbentuk bagian anatomi hewan eksklusif mirip sayap, tanduk, sisik, dan  sebagainya buat desain batu nisan; tapi sepertinya dimaksudkan buat menambah keindahan atau memasukkan nilai filosfis tersendiri, tidak dengan tujuan penggambaran binatang yang sesungguhnya. Baru lebih kurang akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20, teuku teungoh memelopori miniatur aceh yg terpengaruh sang miniatur persia atau 'utsmani menggunakan menampilkan penggambaran manusia, hewan, serta jua gambaran buraq-palsu tiruan persia, yg Sumbernya artinya "sphinx" mahluk mitologi pra-islam; yang patungnya poly dijumpai di persia, mesir, serta yunani. Gambaran buraq-palsu tersebut terus ditiru dengan berbagai variasi menjadi galat satu ornamen arsitektur tradisional di aceh sampai kuartal ketiga abad ke-20.

Akar asal anikonisme islam berasal larangan penyembahan berhala dan  sebagian asal keyakinan bahwa penciptaan makhluk hayati merupakan hak prerogatif yang kuasa. Secara praktik, anikonisme pada islam tak hanya berurusan dengan gambaran material saja, tetapi pula menyentuh representasi mental. Pada akhirnya ketiadaan citra mahluk hayati pada islam memiliki kiprah yg sangat positif. Artis muslim sebagai lebih terkonsentrasi di motif ragam tumbuhan, geometris, serta kaligrafi arab, yg lalu kombinasi ketiganya dikenal menjadi fitur utama pada seni islam.

Secara umum  karakter pada seni hias islam (𝘡𝘢𝘬𝘩𝘳𝘢𝘧𝘢𝘩 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮𝘪𝘺𝘺𝘢𝘩) mempunyai 3 pola akbar, yg pertama; 𝘈𝘳𝘢𝘣𝘪𝘴 "hiasan permukaan sesuai pola linier berirama dari jalinan dedaunan serta sulur, gulungan, atau garis polos, yang sering dipadukan dengan elemen lain". Kedua, pola geometri "deretan dan  pengulangan bentuk bundar serta persegi, yang saling menjalin dan  meliputi,  seperti yang arabis, serta kerapkali memadukan kedua pola itu. Ketiga, epigrafi (prasasti) "kaligrafi arab menggunakan banyak sekali gaya yg seringkali pula dipadukan dengan arabis dan  pola geometri (gaya tulisannya terkadang mewakili daerah tertentu)". Karena di praktiknya saling terkait dan  tak jarang digunakan secara bersamaan dalam satu rangkaian, ketiga pola itu masing-masing seringkali hanya diklaim arabis (𝘈𝘳𝘢𝘣𝘦𝘴𝘲𝘶𝘦).

Di periode sumatra-pasai serta lamuri satu-satunya benda seni yang terhubung dengan seni islam (𝘈𝘭-𝘍𝘢𝘯 𝘈𝘭-𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮𝘪𝘺) yang masih bertahan hingga hari ini adalah batu nisan. Penyebabnya, sebab bahan-bahan organik tak bertahan lama   di wilayah tropis yang lembab. Sedangkan di periode aceh darussalam, karena kekuasaannya bertahan hingga abad ke-20, benda yang mewakili seni islam asal periode ini sebagai yg paling kaya dijumpai. Terdiri asal batu nisan, dekorasi arsitektural serta benda yang terkait kegamaan (umumnya kayu); dekorasi masjid, zawiyah, meunasah, dharih, mimbar, rihal; hiasan mushaf atau naskah; hiasan cap, tekstil, perhiasan, regalia, serta termasuk aneka macam alat-alat keseharian.

Berasal seluruh warisan seni islam pada aceh, batu nisan adalah representasi dari seluruhnya, baik karena segi kuantitas, pengaruhnya yg luas, juga aspek keterpeliharaannya. Batu nisan sudah mewakili seni islam pada setiap abad yg sudah berlalu sejak awal berdirinya daulah islam. Sebab keunikan serta pengaruhnya, desain serta dekorasi batu nisan berasal wilayah ini sudah mewakili tipologi tersendiri pada studi arkeologi, yg disebut "batu nisan aceh" (aceh gravestone). Tipologi batu nisan aceh secara awam bisa dibagi sebagai tiga sub-tipologi berdasarkan periode dan  karakteristiknya, adalah gaya sumatra-pasai, lamuri, dan  aceh darussalam.

Sebelumnya, untuk menghindari kerancuan, hal yang perlu dicatat bahwa para penulis historiografi aceh waktu ini menggunakan istilah "𝘚𝘶𝘮𝘢𝘵𝘳𝘢" (tanpa '𝘦' pepet) buat memberi kesan dan  makna arkais, yang merujuk pada periode sejarah dan  geografis berasal dari istilah "sumatera" yang kontemporer. Kedua-dua ejaan itu akan dipergunakan secara bersamaan buat membedakan konteksnya, mirip; kota sumatra dengan pulau sumatera.

Batu nisan periode sumatra-pasai umumnya terbuat asal batu andesit. Pada masa awal (abad ke-13) hiasannya berpola vegetal dengan prasasti kursif bergaya 𝘕𝘢𝘴𝘬𝘩𝘪 yang sederhana. Sekitar paruh abad ke-14 prasasti kursif lebih digayakan menggunakan pahatan yg lebih halus. Pada perkembangannya hiasan "𝘈𝘵-𝘵𝘢𝘸𝘳𝘪𝘲" (arabesk tumbuhan) dengan kombinasi pilinan dan  simpul sebagai lebih atraktif, halus, serta padat; menggunakan keluarnya kaligrafi kumpulan 𝘕𝘢𝘴𝘬𝘩𝘪-𝘛𝘴𝘶𝘭𝘶𝘵𝘴 serta 𝘛𝘴𝘶𝘭𝘶𝘵𝘴 yang sangat tegas. Permukaan nisan telah lebih halus, menunjukkan sehabis diukir menggunakan pahat serta kikir semua bagian atas dipoles menggunakan abrasive.

Paruh awal abad ke-15 efek dekorasi berasal sentra islam pada daratan asia sangat terasa. Masa ini menjadi titik kemajuan seni islam, yang karakternya sangat menghipnotis di masa kemudian pada wilayah yg lebih luas. Kaligrafi gaya 𝘒𝘶𝘧𝘪-𝘔𝘶𝘳𝘢𝘣𝘣𝘢' (kufi kubus) pernah timbul menjadi dekorasi nisan masa ini. Kaligrafi jenis ini berkembang pesat pada asia tengah era timuriyyah. Ini akan membuka kemungkinan eksistensi komunitas pendukung budaya turko-persia pada kota sumatra. Bila sahih, prasasti ini dapat dilihat sebagai jejak kontak budaya menggunakan bangsa turki sebelum era kejayaan 'utsmani. Bahkan Jika menyelidiki berasal gelar-gelar penguasa dan  tokoh sumatra, semenjak awal mempunyai banyak kecenderungan dengan gelar yg digunakan penguasa dan  pembesar keturunan turko-persia. Hal ini cukup beralasan mengingatkan hampir seluruh daulah islam sejak abad ke-13, mulai berasal anatolia, mesir, asia tengah, sampai asia selatan penguasanya merupakan keturunan dari percampuran bangsa turki yang nenek moyangnya berasal dari pegunungan altai, pada perbatasan asia tengah serta asia timur. Sejak era samaniyah, ghaznawi, sampai era mughal, keturunan turki muslim ini dikenal menjadi pelindung primer bahasa dan  kebudayaan persia, sebab itu secara kebudayaan diklaim menggunakan turko-persia. Sayangnya khat kufi murabba' ini bukan berkembang, serta tiga pasang nisan (satu pada antaranya milik salah  seorang sultan) di kuta krueng, aceh utara sebagai model langka asal jenis itu. Puncaknya di paruh akhir abad ke-15, dimana kaligrafi yang muncul sudah menampilkan gaya 𝘛𝘴𝘶𝘭𝘶𝘵𝘴 menggunakan finial floral yg membuatnya sedikit tidak selaras; beberapa misalnya diusulkan menjadi kaligrafi gaya sumatra.

Pada sebelah barat dan  barat daya kota sumatra (sebagian daerah lhokseumawe), kawasan dengan bentang alam lembah dan  bukit kapur ini dekorasi nisannya menampilkan citra-citra astronomis, yg kemungkinan beberapa gambaran itu telah dipergunakan buat simbol korps atau kepangkatan bagi angkatan bahari. Hal itu didasari asal bukti epigrafi yang menyebutkan gelar-gelar terkait aktifitas kebaharian, yg menandakan bahwa daerah itu artinya pemukiman pelaut zaman sumatra-pasai. Menjelang akhir abad ke-15 nisan di kota sumatra dan  daerah penyangganya, desain nisan diproduksi hampir seragam, yg dikembangkan berasal 2 model primer. Desain utama nisan sumatera-pasai masa akhir ini nantinya menjadi purwarupa (prototype) dari nisan-nisan yang berkembang pada palembang, cirebon, kudus, serta demak yg kebanyakan diproduksi abad ke-17 serta 18.

Batu nisan periode lamuri bahan bakunya beragam, mulai berasal batu andesit, batu gamping, serta batu pasir. Tipe lamuri artinya batu nisan menggunakan desain bentuk paling unik. Ini adalah kolom panjang menggunakan empat sisi yg ukurannya sama, sedikit meruncing ke bagian puncak . Sepintas diduga batu nisan jenis ini dipengaruhi sang salah  satu bentuk arsitektur di asia selatan, dan  membuka kemungkinan bahwa asal seniman atau dampak akbar seninya berasal daerah tadi. Umumnya hiasan nisan di keempat permukaannya artinya sulur kurawal berulang berpadu dengan bunga mengembang dijalin dengan gulungan yang dihubungkan di setiap sisinya. Beberapa contoh di ujung sisi-sisinya dipahat tembus. Berukuran hiasannya lebih besar , terlihat simple akan tetapi padat dan  kompak yg terkadang hampir tak menyisakan ruang, serta kaligrafi kursif disusun dengan gaya yg sama baik ukuran juga polanya; yang pula memungkinkan kaligrafinya digolongkan ke dalam gayanya sendiri.

Selain desain kolom panjang, desain pipih gaya sumatera-pasai juga dikembangkan menggunakan permanen menampilkan dekorasi dan  epigrafi khas lamuri. Karena desain, dekorasi, dan  kaligrafinya yang unik itu, batu nisan lamuri yang secara lokal dianggap "𝘗𝘭𝘢𝘯𝘨-𝘱𝘭𝘦𝘯𝘨" (bermakna belang-belang) lebih mudah buat dikenali. Tipe ini juga agak terlokalisir ketimbang dua tipe lainnya, keberadaannya hanya ditemukan di wilayah aceh kini  . Mungkin terkait kebijakan ekspor masa lalu atau masyarakat pendukung seni ini terpusat pada komunitasnya sendiri di wilayah tertentu dan  menyalurkan karyanya buat otoritas tertentu saja, akan tetapi alasan tepatnya belum diketahui. Batu nisan periode aceh darussalam didominasi menggunakan bahan batu pasir, walaupun beberapa pada antaranya telah didesain menggunakan batu andesit. Nisan aceh darussalam adalah yg paling kaya, baik dilihat asal kuantitas benda, varian desain, maupun dekorasinya. Batu nisan periode ini ialah pengembangan berasal seni sebelumnya, namun menampilkan karakternya sendiri.

Bahkan beberapa desain dapat membagikan masa penggunaan dan  membedakan gender pemilik kubur. Di periode ini dekorasi nisan berkembang sebagai lebih berkarakter. Pada masa peralihan (awal abad ke-16) telah berkembang kaligrafi berpasangan atau gaya cermin, beberapa di antara bahkan sahih-benar dapat dibaca hanya menggunakan cara menggunakan cermin, sebab kesan huruf yang ditampilkan negatif. Pola geometris, jalinan dan  simpul yang dikombinasikan dengan pola tanaman yang rumit, serta kaligrafi kursif semi-𝘵𝘶𝘨𝘩𝘳𝘢 yang homogen-homogen fontnya lebih mungil, serta kerapkali sangat mungil (dari periode sebelumnya) yang dibatasi oleh bingkai; sudah sebagai fitur utama nisan periode ini.

Kurun ke-17 dan  ke-18, artis batu nisan mendapat inspirasi baru buat pengayaan ornamen berasal aneka macam perhiasan mirip rantai manik-manik, kalung papan jajar, anting-anting, mahkota, dan  motif tekstil. Beberapa dekorasi bunga jua terlihat sedikit lebih natural. Bunga teratai bersusun bukan jarang memahkotai desain nisan. Hal ini menunjukkan bahwa desain dan  dekorasi batu nisan ketika itu menjadi ajang kompetisi para artis buat menggali passion estetisnya.

Di paruh abad ke-19, gaya kaligrafi datang-datang berubah (terutama pada batu nisan yang dibuat menyerupai lampion portabel), ukuran font sebagai besar  pulang mirip epigrafi lamuri dengan menampilkan jalinan dan  simpul yang menyerupai anyaman tikar. Karakter kaligrafi dan  dekorasi serupa juga ditemukan pada dekorasi arsitektur religius serta manuskrip. Masa ini kaligrafi pula telah dipergunakan buat mendekorasi kain tenun aceh, ornamen tersebut secara lokal diklaim "𝘣𝘶𝘯𝘨𝘰𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘮𝘢𝘩", akan tetapi contoh yang terpelihara sampai hari ini sangat langka ditemukan pada aceh, kebanyakan sudah menjadi koleksi museum serta kolektor di luar negeri, terutama pada eropa.

Nampaknya artis batu nisan aceh cukup puas hanya menggunakan meninggalkan mahakaryanya tanpa pertanda tangan. Mengingat tidak satu pun pertanda tangan yg mengungkapkan secara tegas nama seniman di batu nisan aceh, seperti yg sering dijumpai di daerah pada timur tengah dan  asia tengah. Tradisi pertanda tangan seniman justru banyak ada pada karya arsitektur tradisional aceh, yg umumnya bertanggal abad ke-20.

Pada dasarnya seni hias pada batu nisan, mushaf atau naskah religi, arsitektural, dan  benda-benda lainnya satu sama lain memiliki relevansi. Meskipun arsitektur kayu yang bertahan hingga hari ini tidak lebih awal dari abad ke-18, dan  manuskrip yang terpelihara tak melampaui abad ke-17, tapi beberapa dekorasinya dapat dibandingkan dengan batu nisan berasal abad ke-16 atau sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa perupa atau artis jarang mempertahankan atau menyalin seni di abad sebelumnya buat diterapkan pulang dan  mengembangkannya demi memelihara patron lokal mereka. Sang karena itu, seni di benda-benda tadi karakteristiknya dapat dilekatkan pada daerahnya. Hal ini di gilirannya menghasilkan mazhab seni tersendiri yang mewakili daerah tersebut, aceh dalam hal ini, yang dampak seni islamnya meninggalkan poly jejak pada negeri-negeri lain pada kepulauan melayu (𝘈𝘭-𝘉𝘪𝘭𝘢𝘥 𝘈𝘭-𝘑𝘢𝘸𝘪𝘺𝘺𝘢𝘩).

Hiasan kaligrafi pada batu nisan aceh, selain berisi epitaf (informasi pemilik kubur), banyak didominasi petikan ayat-ayat al-qur'an, hadits, rumus iman, dan  syair dan  ungkapan religi. Kerapkali ayat-ayat, ungkapan, atau syair yg dipilih buat mendeskripsikan keadaan masa itu. Biasanya artis muslim mempunyai pengetahuan yg cukup di bidang epigrafi dan  bahasa arab, baik teks juga konteks. Pengetahuannya itu tentunya didorong jua sang kewajiban personal muslim utuk menuntut ilmu serta dakwah, yg kemudian memanfaatkan media seni untuk mendukung tujuan tadi. Kaligrafi menjadi bagian berasal dekorasi tidak hanya menampilkan nilai keindahan, tetapi memiliki kandungan makna yg lebih pada. Harus ditafsirkan bahwa pesan seni islam melampaui keindahannya sendiri.

Kesenian islam di aceh sudah berlangsung hampir delapan abad, yg adalah sama dengan separuh lebih dari usia seni islam itu sendiri, akan tetapi objek dan  aspek keseluruhannya masih poly yg belum tergali. Studi spesifik tentangnya sangat minim. Kajian yg timbul asal meja para akademisi selama seratus tahun belakangan, jua belum seperseratus asal yang seharusnya. Tetapi, menggunakan keterbatasan serta minimnya kajian di bidang ini, tidak serta merta menjadikan seni islam pada aceh dicermati sebagai seni pinggiran, mirip yg lebih dulu dialami dalam studi historiografinya.

Di sesi ke-40 konferensi awam unesco yg berlangsung bulan november tahun 2019 yg kemudian, unesco sudah menetapkan lepas "18 november" menjadi 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘵𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘋𝘢𝘺 𝘰𝘧 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮𝘪𝘤 𝘈𝘳𝘵 ("hari seni islam internasional"), yg bertujuan buat menaikkan kesadaran ekspresi seni islam masa lalu dan  kontemporer, dan  donasi budaya melalui seni islam buat peradaban. Ini dia galat satu petikan pidato audrey azoula, direktur jenderal - unesco di moment penetapan tersebut: “𝘛𝘢𝘩𝘶𝘯 𝘪𝘯𝘪, 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘥𝘢𝘪 𝘏𝘢𝘳𝘪 𝘚𝘦𝘯𝘪 𝘐𝘴𝘭𝘢𝘮 𝘐𝘯𝘵𝘦𝘳𝘯𝘢𝘴𝘪𝘰𝘯𝘢𝘭 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘮𝘢 𝘬𝘢𝘭𝘪𝘯𝘺𝘢. 𝘏𝘢𝘳𝘪 𝘪𝘯𝘪 𝘥𝘪𝘱𝘳𝘰𝘬𝘭𝘢𝘮𝘪𝘳𝘬𝘢𝘯 𝘶𝘯𝘵𝘶𝘬 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘺𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘸𝘢𝘳𝘪𝘴𝘢𝘯 𝘭𝘶𝘢𝘳 𝘣𝘪𝘢𝘴𝘢 𝘪𝘯𝘪, 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘭𝘢𝘯𝘨𝘴𝘶𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢 𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘴 𝘢𝘣𝘢𝘥, 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘵𝘦𝘳𝘶𝘴 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘦𝘳𝘣𝘢𝘳𝘶𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘦𝘮𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘭𝘪 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘯𝘥𝘪𝘳𝘪, 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘯𝘨𝘢𝘳𝘶𝘩𝘪 𝘣𝘶𝘥𝘢𝘺𝘢 𝘥𝘪 𝘴𝘦𝘭𝘶𝘳𝘶𝘩 𝘥𝘶𝘯𝘪𝘢”.

Penetapan tersebut tentu membuat kita duka dan  senang  secara bersamaan. Duka sebab seperti disebutkan pada atas, bahwa studi di bidang ini sangat terbatas, serta pada aceh (daerah berdirinya negara islam pertama pada asia tenggara) belum mempunyai museum seni islam. Bahagianya, sebab kita mempunyai momentum tahunan untuk berbenah; untuk mengeksplorasi, menemukan, serta menyusun kembali, serta mengembangkan dan  memanfaatkannya bagi peradaban.

Akhirnya kita akan mendengar sabda paduka nabi 𝔐𝔲𝔥𝔞𝔪𝔪𝔞𝔡 ﷺ ihwal dilema kesombongan, yang bagian dari kalimatnya poly dikutip sang artis muslim menjadi keliru satu teks krusial bagi tumbuh kembangnya seni islam:

 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ” قَالَ رَجُلٌ: إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً، قَالَ: “إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ.

” diriwayatkan berasal abdullah bin mas’ud dari nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “𝘛𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘮𝘢𝘴𝘶𝘬 𝘴𝘶𝘳𝘨𝘢 𝘴𝘦𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘥𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘩𝘢𝘵𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵 𝘬𝘦𝘴𝘰𝘮𝘣𝘰𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘴𝘢𝘳 𝘣𝘪𝘫𝘪 𝘴𝘢𝘸𝘪”. Terdapat seseorang yang bertanya, “𝘉𝘢𝘨𝘢𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘶𝘬𝘢 𝘮𝘦𝘮𝘢𝘬𝘢𝘪 𝘣𝘢𝘫𝘶 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘯𝘥𝘢𝘭 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘢𝘨𝘶𝘴?” dia menjawab, “𝑺𝒆𝒔𝒖𝒏𝒈𝒈𝒖𝒉𝒏𝒚𝒂 𝑨𝒍𝒍𝒂𝒉 𝒊𝒕𝒖 𝑴𝒂𝒉𝒂 𝑰𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒏𝒄𝒊𝒏𝒕𝒂𝒊 𝒌𝒆𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉𝒂𝒏. 𝘚𝘰𝘮𝘣𝘰𝘯𝘨 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘮𝘦𝘯𝘰𝘭𝘢𝘬 𝘬𝘦𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘳𝘦𝘮𝘦𝘩𝘬𝘢𝘯 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘭𝘢𝘪𝘯“. (𝐇adits 𝐑iwayat 𝐌𝐮𝐬𝐥𝐢𝐦).[]
Ohya, Sahabat Pembaca.. Jika kalian punya cerita unik, artikel menarik, tips berguna atau pun berita kejadian terkini, Silakan kirim ke Admin Acheh Network..!!
Whatsapp:
0812-6537-7302 (Pesan saja/tidak menerima panggilan telepon)

ARTIKEL TERKAIT

Terupdate Lainnya

Tinggalkan Komentar Anda

Iklan - Geser ke atas untuk melanjutkan

REKOMENDASI UNTUK ANDA