24 C
id

Sejarah Lika-liku Terbentuknya Provinsi Aceh

Provinsi Aceh

ACHEH NETWORK - Terletak di bagian paling barat nusantara, wilayah Aceh diposisi strategis sebagai gerbang komersial dan budaya yang menghubungkan Timur dan Barat selama berabad-abad. Aceh sering disebut-sebut sebagai tempat persinggahan para pedagang Cina, Eropa, India dan Arab, menjadikan wilayah Aceh sebagai wilayah budaya dan agama pertama nusantara. Pada abad ke-7, pedagang India memperkenalkan agama Hindu dan Budha. Namun, peran Aceh itu sejalan dengan kedatangan dan perkembangan Islam di wilayah itu, yang diperkenalkan oleh para pedagang Gujarat dari kalangan Arab pada abad ke-8.

Menurut catatan sejarah, Aceh merupakan tempat pertama Islam masuk ke Indonesia dan tempat lahirnya kerajaan Islam pertama di Indonesia, Peureulak dan Pasai. Kesultanan Aceh pun didirikan oleh Sultan Ali Mughayatsyah, dengan ibu kota di Bandar Aceh Darussalam (sekarang Banda Aceh), kesultanan ini berangsur-angsur meluas hingga mencakup sebagian besar pantai barat dan timur dari Sumatera hingga Semenanjung Malaka. Keberadaan wilayah itu diperkuat dengan terbentuknya Kesultanan Aceh yang mempersatukan seluruh kerajaan kecil di wilayah itu.

Kesultanan Aceh mencapai puncaknya pada awal abad ke-17 pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Saat itu pengaruh agama dan budaya Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh begitu besar sehingga daerah ini dijuluki "Seuramoë Meukah" (Serambi Mekkah). Keadaan ini tidak berlangsung lama, karena sepeninggal Sultan Iskandar Muda, para penggantinya tidak dapat mempertahankan luas kesultanan. Hal ini melemahkan posisi wilayah tersebut sebagai salah satu kerajaan terbesar di Asia Tenggara. Hal ini menyebabkan wibawa kerajaan melemah dan pengaruh luar mulai berdatangan.

Kesultanan Aceh menjadi incaran negara-negara Barat yang ditandai dengan ditandatanganinya Traktat London dan Traktat Sumatera antara Inggris Raya dan Belanda untuk menata kepentingannya di Sumatera. Sikap negara-negara barat yang menguasai wilayah Aceh dikukuhkan pada tanggal 26 Maret 1873, saat Belanda menyatakan perang terhadap Sultan Aceh. Dijuluki "Perang Sabi", tantangan ini berlangsung selama 30 tahun dan merenggut banyak nyawa, memaksa sultan terakhir Aceh, Tuanku Muhammad Daud Syah mengakui kedaulatan Belanda atas tanah Aceh. Dengan pengakuan kedaulatan tersebut, wilayah Aceh secara administratif resmi tergabung dalam wilayah Hindia Belanda (Nederlansch Oost-Indie) dalam bentuk provinsi, yang menjadi daerah pemukiman sejak tahun 1937 hingga berakhirnya pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Pemberontakan melawan penjajahan Belanda terus berlanjut di seluruh pelosok Aceh.


Kemudian perang berbalik melawan Jepang, yang datang pada tahun 1942. Perang tersebut berakhir dengan penyerahan Jepang kepada sekutu pada tahun 1945. Pada masa Perang Kemerdekaan, kontribusi dan keterlibatan rakyat Aceh dalam perjuangan sedemikian rupa sehingga Presiden Republik Indonesia yang pertama, Ir. Sukarno memberi daerah Aceh julukan "Wilayah Ibukota". Sejak bangsa Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan berdaulat pada tanggal 17 Agustus 1945, Aceh telah menjadi bagian dari daerah atau bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai pusat Provinsi Sumatera. Bersamaan dengan berdirinya Kediaman Aceh berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sumatera Utara No. 1/X tanggal 3 Oktober 1945 diangkat Teuku Nyak Arief sebagai Residen. Status wilayah Aceh sebagai bagian dari wilayah negara Republik Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan status. Pada awal tahun 1947, pada masa revolusi kemerdekaan, ibu kota Aceh berada di wilayah administratif Sumatera Utara. Sehubungan dengan serangan militer terhadap Republik Indonesia Belanda, daerah pemukiman Aceh, Langkat dan Tanah Karo ditetapkan sebagai distrik militer Kutaradja (sekarang Banda Aceh) di bawah gubernur militer Teungku Muhammad Daud Beureueh.

Meski zona militer dibentuk saat itu, kediaman tersebut bertahan. Selain itu, pada tanggal 5 April 1948, disahkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1948 yang membagi Sumatera menjadi tiga provinsi otonom, yaitu:

Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera Selatan. Provinsi Sumatera Utara meliputi tempat tinggal Aceh, Sumatera Timur dan Tapanul Selatan yang dipimpin oleh gubernur. S.M. Amin.

Dalam menghadapi serangan militer kedua yang dilancarkan Belanda untuk menguasai Republik Indonesia, pemerintah bermaksud memperkuat pertahanan dan keamanan dengan mengeluarkan Keputusan Darurat Republik Indonesia No. 21/Pem/PDRI tanggal 16 mei 1949 yang memusatkan Kekuatan Militer dan sipil kepada Militer Gubernur.

Pada akhir tahun 1949, Keresidenan Aceh dipindahkan dari Propinsi Sumatera Utara dan kemudian  menjadi Propinsi Aceh. Teungku Muhammad Daud Beureueh yang sebelumnya Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo diangkat menjadi Gubernur Provinsi Aceh. Beberapa waktu kemudian, berdasarkan peraturan pemerintah pengganti UU No. 5 Tahun 1950, provinsi Aceh kembali menjadi keresidenan seperti awal kemerdekaan. Perubahan status ini menimbulkan keresahan politik yang mengganggu stabilitas keamanan, ketertiban, dan ketentraman masyarakat. Pemerintah menanggapi keinginan para pemimpin dan rakyat Aceh dengan mengeluarkan UU No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan kembali Propinsi Aceh yang meliputi seluruh bekas keresidenan Aceh.


Dengan dikeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, status Propinsi Aceh menjadi Daerah Swatantra Tingkat I dan pada tanggal 27 Januari 1957 A. Hasjmy dilantik sebagai Gubernur Propinsi Aceh. Namun gejolak politik di Aceh belum seluruhnya berakhir. Untuk menjaga stabilitas Nasional demi persatuan dan kesatuan bangsa, melalui misi Perdana Menteri Hardi yang dikenal dengan nama MISSI HARDI tahun 1959 dilakukan pembicaraan yang berhubungan dengan gejolak politik, pemerintahan dan pembangunan daerah Aceh. Hasil misi tersebut ditindak lanjuti dengan keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/MISSI/1959. Maka sejak tanggal 26 Mei 1959 Daerah Swatantra Tingkat I atau Propinsi Aceh diberi status “Daerah Istimewa” dengan sebutan lengkap Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dengan predikat tersebut, Aceh memiliki hak-hak otonomi yang luas dalam bidang agama, adat dan pendidikan. status ini dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.

Berbagai kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintah pada masa lalu yang menitik beratkan pada sistem yang terpusat dipandang sebagai sumber bagi munculnya ketidakadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kondisi yang demikian ini memunculkan pergolakan. Hal ini ditanggapi oleh pemerintah pusat dengan pemberian Otonomi Khusus dengan disahkannya Undang-Undang no. 18 tahun 2002 dan Propinsi Daerah Istimewa Aceh berubah menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kemudian berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan alam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh tertanggal 7 April 2009, ditegaskan bahwa sebutan Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas di lingkungan Pemerintah Aceh, diubah dan diseragamkan dari sebutan/nomenklatur "Nanggroe Aceh Darussalam" ("NAD") menjadi sebutan/nomenklatur " Aceh ". Ini dilakukan sambil menunggu ketentuan dalam Pasal 251 UU Pemerintahan Aceh yang menyatakan bahwa nama Aceh sebagai provinsi dalam sistem NKRI, akan ditentukan oleh DPRA hasil Pemilu 2009.[]

Ohya, Sahabat Pembaca.. Jika kalian punya cerita unik, artikel menarik, tips berguna atau pun berita kejadian terkini, Silakan kirim ke Admin Acheh Network..!!
Whatsapp:
0812-6537-7302 (Pesan saja/tidak menerima panggilan telepon)

ARTIKEL TERKAIT

Terupdate Lainnya

Tinggalkan Komentar Anda

Iklan

REKOMENDASI UNTUK ANDA