24 C
id

Tragedi Idi Cut Peristiwa Pembantaian Sipil Oleh Aparat

Tragedi Idi Cut Peristiwa Pembantaian Sipil Oleh Aparat
Masyarakat sedang melakukan penyusuran pencarian mayat di Krueng Arakundo (Foto: Meseum HAM)

ACHEH NETWORK - Tragedi Idi Cut, juga dikenal sebagai Tragedi Arakundo, merupakan sebuah peristiwa pembantaian sipil yang terjadi pada tanggal 3 Februari 1999 di Idi Cut, Aceh, Indonesia. Pada peristiwa tersebut, sejumlah saksi mata menyatakan bahwa pasukan ABRI bertanggung jawab atas tindakan yang menewaskan tujuh orang dan melukai ratusan orang lainnya. Sayangnya, hingga saat ini, para pelaku belum ditangkap dan diadili.

Peristiwa tersebut diduga terkait dengan tindakan penyisiran yang dilakukan oleh sejumlah orang tak dikenal pada tanggal 29 Desember 1998, yang berujung pada pembunuhan beberapa personel ABRI di Lhok Nibong. Jenazah korban kemudian dibuang ke Sungai Arakundo. Para korban Tragedi Idi Cut mendengar kata-kata yang diucapkan oleh para serdadu ABRI saat mereka sedang membantai korban, "Kalian bunuh kawan kami. Kalian ceburkan mereka ke sungai. Rasakan balasannya."

Peristiwa Tragedi Idi Cut menuai keprihatinan dan kecaman dari berbagai pihak, baik nasional maupun internasional. Masyarakat berharap agar kasus ini dapat diungkap dan para pelaku dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka. Selain itu, tragedi ini juga menjadi pengingat akan pentingnya mengedepankan hak asasi manusia dan menjamin keadilan bagi seluruh warga negara Indonesia.

Pada tanggal 2 Februari 1999, warga desa Matang Ulim, Darul Aman, Aceh Timur, bersama-sama menyiapkan acara di lapangan Simpang Kuala, Idi Cut. Sekitar pukul 16.00 WIB, sejumlah tentara datang membawa senjata laras panjang. Penduduk setempat menduga mereka anggota Koramil setempat. Aparat militer tersebut langsung mengobrak-abrik persiapan acara serta menganiaya beberapa orang di sekitar tempat acara. Meski diserobot, masyarakat tetap melanjutkan persiapan acara. Sebelum acara dimulai pukul 20.30 WIB, massa yang berjumlah sekitar 10.000 orang dari berbagai daerah telah berkumpul sejak sore harinya, memenuhi lapangan Simpang Kuala hingga ke pinggiran jalan nasional Medan-Banda Aceh.

Setelah acara selesai keesokan harinya pukul 00:45 WIB, masyarakat pulang dengan berjalan kaki, menggunakan sepeda motor, dan menaiki mobil bak terbuka. Jalur kepulangan mereka melewati kantor Koramil Idi Cut. Saat itu, massa menjadi kacau karena banyak kendaraan yang diberhentikan oleh anggota Koramil. Ada sejumlah laporan yang menyebutkan kerumunan massa dilempari batu dari arah markas Koramil di Idi Cut. Pukul 01:00, terdengar tembakan membabi buta dari arah markas Koramil ke arah kerumunan. Beberapa truk aparat sudah bersiaga di sana.

Setelah gelombang tembakan pertama, terjadi lagi penembakan ke arah massa. Setelah banyak massa berjatuhan, seorang saksi mata mendengar anggota TNI mengatakan, "Kamu yang membunuh tentara, habis semua. Kamu potong leher. Kamu campak ke sungai." Beberapa korban lainnya menyebutkan para pelakunya adalah anggota Batalyon Linud 100. Sebanyak 58 korban tertembak dinaikkan ke dalam truk aparat, baik yang tewas maupun terluka. Tetapi ada juga beberapa korban terluka yang tidak terangkut karena bersembunyi di selokan samping jalan.

Sekitar pukul 03:00 WIB, banyak saksi mata melihat tiga truk militer yang mengangkut korban penembakan bergerak menuju jembatan Sungai Arakundo. Sebelum diangkut ke truk, para korban diikat dengan kawat di seluruh tubuh mereka, kemudian dimasukkan ke dalam karung goni milik masing-masing tentara yang masih bertuliskan nama pelaku beserta pangkatnya, seperti "Sertu Iskandar". Batu besar diikatkan di setiap karung sebagai pemberat, lalu karung tersebut dilemparkan ke Sungai Arakundo. Seorang saksi mata lain mengatakan bahwa darah yang mengalir di sekitar jembatan Arakundo berusaha ditutupi dengan pasir oleh tentara. Pasir tersebut berasal dari penambangan penduduk sekitar sungai yang ditumpuk di pinggir sungai.

Insiden Idi Cut di Aceh Timur pada tahun 1999 menjadi salah satu peristiwa yang paling memilukan di Aceh. Tragedi tersebut terjadi pada masa konflik bersenjata antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berlangsung selama beberapa dekade.

Pada saat itu, penduduk desa Matang Ulim bersiap-siap untuk mengadakan sebuah acara di lapangan Simpang Kuala, Idi Cut. Namun, sejumlah tentara datang dan mengobrak-abrik acara tersebut. Setelah acara selesai, banyak penduduk desa pulang ke rumah dengan berjalan kaki, sepeda motor, atau mobil bak terbuka. Namun, di sepanjang jalan, mereka dihadang dan ditembak oleh aparat militer.

Sebanyak 58 orang tewas dan banyak lainnya terluka dalam insiden tersebut. Para korban dibuang ke Sungai Arakundo dengan karung goni dan batu sebagai pemberat. Pencarian korban dilakukan oleh penduduk desa dengan alat tradisional, karena aparat keamanan tidak membantu.

Tragedi ini memicu kemarahan dan protes di Aceh, dan menambah konflik yang sudah berlangsung lama. Sejak itu, beberapa upaya telah dilakukan untuk mengakhiri konflik bersenjata tersebut, termasuk negosiasi damai dan program rehabilitasi dan rekonsiliasi. Meski begitu, tragedi Idi Cut tetap menjadi kenangan yang menyakitkan bagi banyak orang di Aceh dan Indonesia.

Insiden tersebut kemudian dikenal sebagai Tragedi Idi Cut, yang menimbulkan kontroversi dan kecaman dari berbagai pihak. Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Pertahanan dan Keamanan saat itu, Wiranto, mengeluarkan pernyataan yang mengecam kekerasan yang terjadi di Idi Cut dan menjanjikan akan melakukan investigasi atas insiden tersebut. Namun, investigasi tersebut tidak membuahkan hasil yang memuaskan bagi keluarga korban dan aktivis hak asasi manusia.

Beberapa tahun setelah insiden tersebut, pada tahun 2005, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akhirnya merilis laporan hasil investigasinya yang menyatakan bahwa Tragedi Idi Cut adalah pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia. Komnas HAM menemukan bukti yang menguatkan bahwa pelaku adalah anggota militer Indonesia, termasuk Batalyon Infanteri 133/YD dan Batalyon Infanteri 100/LM.

Namun, meski sudah ada laporan resmi dari Komnas HAM dan beberapa upaya untuk mengadili pelaku, hingga saat ini belum ada satu orang pun yang diadili atau dihukum atas insiden tersebut. Keluarga korban dan aktivis hak asasi manusia terus menuntut keadilan untuk Tragedi Idi Cut, serta mengingatkan akan pentingnya menjaga dan melindungi hak asasi manusia di Indonesia.

Pada peristiwa Tragedi Idi Cut, terdapat perbedaan informasi terkait jumlah korban yang disampaikan oleh Pihak ABRI dan penduduk setempat. Meski demikian, masyarakat yang turun tangan dalam pencarian menemukan enam mayat dalam karung di sungai dan satu korban tembak di dekat tempat kejadian, sehingga total korban tewas berjumlah 7 orang. Selain itu, menurut harian Waspada pada tanggal 6 Februari, puluhan warga desa yang menyewa lima bus tidak diketahui keberadaannya dan bahkan ada satu bus yang hilang bersama sopir dan para penumpangnya.

Namun, klaim masyarakat tersebut dibantah oleh Kolonel Johnny Wahab yang menyebutnya sebagai "rumor tanpa dasar". Ia mengatakan bahwa jumlah korban tewas "dua, mungkin tiga [orang]" dan 5.000 orang yang berkumpul di Idi Cut adalah simpatisan Gerakan Aceh Merdeka.

Setelah peristiwa tersebut, Gubernur Aceh Syamsudin Mahmud menyebut tindakan ini "tidak berperikemanusiaan dan amat sangat mengejutkan". Ia menyayangkan bahwa "Orang-orang biasanya membuang sampah ke sungai, tetapi kali ini mereka membuang mayat manusia."

Peristiwa Idi Cut menjadi salah satu kasus yang disarankan Amnesty International untuk diproses secepatnya oleh Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KPTKA). Meski Jaksa Agung sudah melakukan investigasi pada November 1999, sampai saat ini belum ada anggota aparat keamanan yang diadili atas tindak kekerasan ini.

Pada tanggal 7 Februari 1999, Anwar Yusuf, seorang relawan FP HAM yang ikut menyelidiki peristiwa Idi Cut, ditangkap di rumahnya oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai anggota Komando Rayon Militer Kecamatan Idi Rayeuk. Ia diinterogasi oleh empat anggota ABRI seputar kunjungannya ke Sungai Arakundo dan dituduh sebagai anggota GAM. Saat menjalani interogasi di Koramil, Yusuf mengaku disiksa berulang-ulang, dipukul dengan balok kayu, sapu, dan kursi, disiram kopi panas, dipaksa jongkok di lantai sambil menjepit balok kayu, dan diancam akan ditembak. Sebelum ditahan di kepolisian pada 10 Februari 1999, ia sempat ditransfer ke Komando Distrik Militer Aceh Timur. Ia dilepaskan pada hari itu juga tanpa tuduhan apapun.


Harian Serambi Indonesia sempat menyebut acara yang diselenggarakan warga Idi Cut adalah "Dakwah Aceh Merdeka". Namun, pemberitaan ini mendapatkan kecaman keras dari masyarakat karena memunculkan opini bahwa semua massa yang hadir pada acara tersebut adalah anggota GAM. Meski topik ceramahnya seputar sejarah perjuangan rakyat Aceh, panitia penyelenggara menyatakan bahwa acara tersebut tidak ada bedanya dengan tabligh akbar yang biasa dilakukan oleh masyarakat.

Setelah peristiwa Idi Cut, terjadi peningkatan kekerasan di Aceh. Pada 10 Februari 1999, enam orang tewas dalam bentrokan antara aparat keamanan dan massa yang melakukan aksi demonstrasi di Banda Aceh. Keenam korban tewas tersebut adalah dua pelajar, seorang mahasiswa, dua pedagang, dan seorang pekerja bangunan.

Kekerasan semakin merajalela di Aceh dan pemerintah Indonesia semakin mengintensifkan operasi militer di wilayah tersebut. Pada bulan Maret 2003, pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menandatangani perjanjian damai di Helsinki, Finlandia, yang mengakhiri konflik di Aceh yang berlangsung selama tiga dekade. Perjanjian damai tersebut menghasilkan kesepakatan tentang otonomi khusus bagi Aceh dan pembebasan tahanan politik.

Namun, meskipun telah terjadi perjanjian damai, pengadilan atas pelanggaran hak asasi manusia selama konflik di Aceh belum sepenuhnya dilakukan. Banyak aktivis hak asasi manusia yang menyatakan bahwa kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di Aceh masih belum dituntaskan dan bahwa keadilan belum sepenuhnya terpenuhi.

Peristiwa Idi Cut merupakan salah satu dari banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama konflik di Aceh. Meskipun telah berlalu lebih dari dua puluh tahun, korban dan keluarga mereka masih menantikan keadilan dan pengungkapan kebenaran atas peristiwa tersebut.

Tanggal 7 Februari 1999, seorang relawan FP HAM bernama Anwar Yusuf ditangkap oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai anggota Komando Rayon Militer Kecamatan Idi Rayeuk. Ia dituduh sebagai anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan diinterogasi oleh empat anggota ABRI seputar kunjungannya ke Sungai Arakundo untuk menyelidiki peristiwa Idi Cut. Yusuf mengaku disiksa berulang-ulang, dipukul dengan balok kayu, sapu, dan kursi, disiram kopi panas, dipaksa jongkok di lantai sambil menjepit balok kayu, dan diancam akan ditembak. Sebelum ditahan di kepolisian pada 10 Februari 1999, ia sempat ditransfer ke Komando Distrik Militer Aceh Timur. Ia dilepaskan pada hari itu juga tanpa tuduhan apapun.

Pemberitaan mengenai peristiwa ini mendapat perhatian internasional dan Amnesty International menyarankan agar peristiwa ini diproses secepatnya oleh Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KPTKA). Meski Jaksa Agung sudah melaksanakan investigasi pada November 1999, belum ada anggota aparat keamanan yang diadili atas tindak kekerasan ini.

Peristiwa Idi Cut mencerminkan situasi yang tegang di Provinsi Aceh pada saat itu, di mana konflik antara aparat keamanan dan Gerakan Aceh Merdeka semakin memuncak. Kejadian ini juga menunjukkan pentingnya menjaga keterbukaan informasi dan menindak tegas pelanggaran hak asasi manusia, termasuk tindak kekerasan yang dilakukan oleh pihak aparat keamanan.

Pada tanggal 13 Februari, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengirimkan lima anggotanya untuk menyelidiki kasus ini. Pada saat itu, situasi di Aceh semakin memanas, dan anggota GAM terus melakukan serangan terhadap pos-pos militer. Pemerintah Indonesia akhirnya mengirimkan bantuan tambahan pasukan ke Aceh.

Pada tanggal 18 Februari, Presiden BJ Habibie memerintahkan pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk meneliti kejadian di Idi Cut. TGPF ini terdiri dari berbagai elemen, termasuk anggota Komnas HAM, pemerintah, militer, dan kepolisian.

Pada akhirnya, TGPF menemukan bahwa peristiwa Idi Cut adalah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anggota ABRI. Mereka menemukan sejumlah bukti fisik dan saksi mata yang menunjukkan bahwa terdapat banyak korban jiwa dalam peristiwa tersebut, termasuk orang yang dibunuh dan orang yang hilang.

Dalam laporannya, TGPF merekomendasikan agar sejumlah anggota ABRI yang terlibat dalam peristiwa tersebut diadili atas tindakan mereka. Namun, hingga saat ini, belum ada anggota ABRI yang diadili terkait dengan peristiwa ini.

Peristiwa Idi Cut menjadi salah satu momen penting dalam sejarah konflik di Aceh. Kejadian ini menjadi titik awal bagi gerakan Hak Asasi Manusia untuk menuntut keadilan bagi korban-korban kekerasan di Aceh. Peristiwa ini juga menjadi bukti bahwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan dapat menyebabkan dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat dan dapat memperburuk situasi konflik.

Kabar penangkapan Anwar Yusuf menjadi sorotan masyarakat dan organisasi-organisasi hak asasi manusia. Sejumlah organisasi seperti Kontras, Imparsial, dan HAM Watch menyampaikan keprihatinan mereka atas penangkapan dan penyiksaan Anwar Yusuf, serta menuntut aparat keamanan bertanggung jawab atas tindakan tersebut.

Meskipun demikian, sampai saat ini belum ada anggota aparat keamanan yang diadili atas tindakan kekerasan dalam peristiwa Idi Cut. Kasus ini menjadi salah satu dari lima kasus yang direkomendasikan oleh Amnesty International untuk diproses secepatnya oleh Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KPTKA).

Setelah peristiwa Idi Cut, keamanan di Aceh semakin diperketat dan ketegangan antara aparat keamanan dan kelompok separatis Aceh Merdeka semakin meningkat. Pemerintah Indonesia menerapkan status darurat militer di Aceh pada tanggal 19 Mei 2003 dan memperkuat kehadiran militer di daerah tersebut. Konflik antara aparat keamanan dan kelompok separatis Aceh Merdeka berakhir pada tahun 2005 dengan ditandatanganinya Perjanjian Helsinki, yang mengakhiri konflik Aceh selama lebih dari tiga dekade.

Peristiwa Idi Cut tetap menjadi salah satu kenangan kelam dalam sejarah konflik Aceh dan menjadi simbol dari kekejaman yang terjadi di daerah tersebut. Tindakan kekerasan yang terjadi pada peristiwa ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk selalu memperjuangkan perdamaian dan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Setelah pembantaian Idi Cut, Komnas HAM dan sejumlah LSM lainnya seperti Kontras, LBH Jakarta, dan Amnesty International, mendesak pemerintah Indonesia untuk mengusut tuntas kasus ini dan memperoleh keadilan bagi para korban. Namun, investigasi resmi yang dilakukan oleh Jaksa Agung hanya menemukan dua anggota TNI yang terlibat dalam peristiwa ini.

Berdasarkan laporan investigasi tersebut, dua anggota TNI yang bernama Pratu Ardiansyah dan Pratu Hendra, diduga terlibat dalam pembantaian tersebut. Namun, keduanya hanya dijatuhi hukuman disiplin dan dipindahkan ke daerah lain tanpa diadili secara pidana.

Kebijakan seperti ini dianggap tidak memadai oleh para aktivis dan keluarga korban, karena menurut mereka, hukuman disiplin tidak cukup untuk menjamin keadilan bagi para korban. Selain itu, mereka juga merasa bahwa kasus ini tidak diselesaikan secara adil karena hanya dua orang yang ditunjuk sebagai pelaku, sementara ada banyak saksi dan bukti yang menunjukkan adanya keterlibatan lebih banyak anggota TNI dalam tragedi ini.

Hingga saat ini, kasus Idi Cut masih menjadi sorotan publik dan banyak pihak yang terus memperjuangkan keadilan bagi para korban. Beberapa keluarga korban bahkan masih terus berjuang untuk mendapatkan ganti rugi dan kompensasi atas kehilangan yang mereka alami akibat dari tragedi ini.[]

Ohya, Sahabat Pembaca.. Jika kalian punya cerita unik, artikel menarik, tips berguna atau pun berita kejadian terkini, Silakan kirim ke Admin Acheh Network..!!
Whatsapp:
0812-6537-7302 (Pesan saja/tidak menerima panggilan telepon)

ARTIKEL TERKAIT

Terupdate Lainnya

Tinggalkan Komentar Anda

Iklan

REKOMENDASI UNTUK ANDA