24 C
id

Inilah! 4 Ulama Besar Aceh yang Sangat Berpengaruh: Kisah Inspiratif di Tanah Syariat Islam

Ulama Aceh
Lukisan Ulama Aceh (Achehnetwork.com)
ACHEHNETWORK.COM - Berbeda dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia, Aceh memiliki keistimewaan yang unik.

Sejak zaman dahulu hingga saat ini, Aceh telah menjadi daerah dengan mayoritas penduduk Muslim yang hidup dalam bingkai syariat Islam.

Keistimewaan Aceh ini didasarkan pada sejarahnya yang kaya, sebagai tempat dimulainya penyebaran agama Islam di Indonesia dan Asia Tenggara.

Sejak abad ke-17, Kesultanan Aceh telah menjadi negara terkaya, terkuat, dan termakmur di wilayah Selat Malaka.

Awalnya, Aceh dikenal dengan nama Aceh Darussalam (1511-1959).

Kemudian, berganti menjadi Daerah Istimewa Aceh (1959-2001), Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009), dan akhirnya menjadi Aceh (2009-sekarang).

Sebelumnya, nama Aceh juga ditulis sebagai Acheh, Atjeh, dan Achin.

Sejak zaman dahulu, Aceh telah diakui sebagai tempat kelahiran para wali dan ulama yang memiliki pengaruh besar.

Para ulama ini sangat dihormati karena jasa-jasanya dalam penyebaran agama Islam dan ilmu syariat.

Dari sekian banyak ulama di Aceh, terdapat empat ulama besar yang memiliki pengaruh yang sangat signifikan.

Riwayat keempat ulama ini diambil dari buku "Paham Wujudiah" karya Abuya Syeikh Prof. Dr. Tgk. H. Muhibbuddin Muhammad Waly yang merangkum sejarah Aceh.

Berikut adalah nama-nama dan kisah singkat keempat ulama masyhur tersebut:


1. Syeikh Hamzah Fansuri

Syeikh Hamzah Fansuri merupakan tokoh sufi terkenal di Aceh.

Beliau lahir di Fansur Singkil, Aceh, dan hidup pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayatsyah IV (1589-1604 atau 997-1011 Hijriyah) hingga awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam.

Beliau merantau untuk menuntut ilmu ke Jawa, Semenanjung Tanah Melayu, India, Persia, dan Semenanjung Arab.

Keahliannya meliputi ilmu fiqh, tasawuf, falsafah, sastra, mantiq, sejarah, dan lain-lain. Selain itu, beliau juga fasih berbahasa Arab, Urdu, Parsi, Melayu, dan Jawa.

Syeikh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani merupakan dua tokoh sufi yang memiliki pandangan yang serupa dan hidup sebelum dua ulama terkemuka lainnya, yaitu Abdurrauf Singkil Fansuri dan Nuruddin Ar-Raniry.

Meskipun riwayat hidupnya tidak banyak diketahui, diperkirakan beliau telah menjadi penulis pada masa pemerintahan Sultan Aceh Alaiddin Riayatsyah IV.

Beliau menyebut Sultan Alaiddin sebagai sultan keempat dengan gelar Sayyid Mukammil.

Syahr Nawi mengindikasikan bahwa beliau lahir di tanah Aceh. Konon, saudara Hamzah Fansuri bernama Ali Fansuri adalah ayah dari Abdurrauf Singkil Fansuri.

Setelah menyelesaikan perjalanan kelilingnya dari Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Makkah, dan Madinah untuk mencari ilmu makrifat (pengetahuan tentang Allah SWT), beliau kembali ke Aceh dan mengajarkan ilmunya.

Awalnya, beliau tinggal di Barus, lalu pindah ke Banda Aceh dan mendirikan Dayah (pesantren) di Oboh Simpang Kanan Singkil.

Di pesantren tersebut (ada yang mengatakan antara Singkil dengan Rundeng), beliau dimakamkan di sebuah pekuburan di desa tersebut.


2. Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani

Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani adalah seorang ulama besar dan penulis terkenal di Aceh.

Nama lengkapnya adalah Syeikh Syamsuddin bin Abdillah As-Sumatrani, yang sering disebut juga sebagai Syamsuddin Pase.

Beliau hidup di Aceh pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17.

Gurunya adalah Hamzah Fansuri, dan beliau juga belajar dengan Pangeran Sunan Bonang di Jawa. 

Beliau menguasai bahasa Melayu-Jawa, Parsi, dan Arab.

Bidang ilmu yang dikuasainya meliputi tasawuf, fiqh, sejarah, mantiq, tauhid, dan lain-lain.

Pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Riayatsyah IV dan Sultan Iskandar Muda, beliau menduduki jabatan tinggi dalam Kerajaan Kesultanan Aceh.

Beliau diangkat sebagai penasihat kedua sultan tersebut dan juga menjabat sebagai qadi malikul adil, jabatan penting di Kerajaan Aceh.

Selain itu, beliau menjadi Syekh pusat pengajaran di Baiturrahman.

Meskipun memahami aliran tasawuf wahdatul wujud, beliau tetap berlaku adil dalam menjalankan hukum-hukum yang difatwakan.

Keahliannya diakui oleh semua pihak, termasuk Syeikh Nuruddin.

Beliau meninggal dunia pada tahun 1630 M pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Karya-karya dan fatwa-fatwa beliau sangat banyak, termasuk Syarah Ruba'i Fansuri (penjelasan terhadap puisi Hamzah Fansuri) dan lain-lain.

Beliau merupakan seorang ulama besar dalam bidang fiqh dan tasawuf.

Seorang pelaut Belanda bernama Frederick de Houtman (1599 M/1008 H) yang ditawan di Banda Aceh, menyebutkan dalam bukunya bahwa Syamsuddin Sumatrani adalah seorang Syeikh dan penasihat agung bagi raja.


3. Syeikh Nuruddin Ar-Raniry

Nama lengkapnya adalah Nuruddin Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniry Al Quraisyi Asy Syafi'ie.

Beliau wafat pada tanggal 22 Zulhijjah 1069 H/21 September 1658 M di kota kelahirannya, yaitu Ranir (Rander) di Gujarat, India.

Sayangnya, tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti.

Beliau merupakan seorang ulama besar, penulis, cendekiawan, dan Syekh Thariqat Rifa'iyyah di India yang kemudian merantau dan menetap di Aceh.

Pendidikan awalnya dalam bidang keagamaan diperolehnya di kota kelahirannya sendiri.

Kemudian, beliau melanjutkan pendidikan di Tarim, Yaman.

Tarim merupakan pusat studi ilmu agama pada masa itu.

Setelah menunaikan ibadah haji dan ziarah ke makam Nabi SAW pada tahun 1621 M (1030 H), beliau kembali ke India.

Setelah kembali ke India dan mengajar serta menjadi Syekh Thariqat Rifa'iyyah, beliau merantau ke Nusantara dan memilih Aceh sebagai tempat tinggal.

Beliau datang ke Aceh karena mengetahui bahwa Aceh menjadi pusat perdagangan, kebudayaan, politik, dan juga studi agama Islam di Asia Tenggara, menggantikan Melaka yang jatuh ke tangan Portugis.

Dengan dukungan yang baik dari Sultan Iskandar Tsani di Aceh, beliau mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan ajaran yang dibawanya.

Beliau pernah menentang aliran faham wujudiyah yang berkembang di Aceh pada masa itu.

Untuk menyanggah faham tersebut yang dianggapnya sesat, beliau dengan sengaja menulis beberapa kitab.

Nama Al Quraisyi dalam gelarnya menunjukkan bahwa beliau berasal dari suku Quraisy yang terhormat.

Beliau menganut thariqat Rifa'iyyah, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara beliau dengan Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, dan Abdurrauf Al-Fansuri.

Karena semuanya merupakan pengikut thariqat sufistik dan bermazhab Syafi'i.


4. Syeikh Abdurrauf As-Singkili

Beliau merupakan salah satu dari empat ulama terkemuka yang lahir di Aceh pada abad ke-17.

Tiga ulama lainnya adalah Syeikh Hamzah Fansuri, Syeikh Syamsuddin Sumatrani, dan Syeikh Nuruddin Ar-Raniry.

Para ahli sejarah memperkirakan bahwa beliau lahir sekitar tahun 1615 M (1035 H) di Singkil, sebuah kota yang terletak di ujung paling selatan pantai barat Aceh, sejajar dengan kampung Syekh Hamzah Fansuri dan juga merupakan keponakan dari saudara Syeikh Hamzah Fansuri sendiri.

Beliau tumbuh dan berkembang sebagai calon ulama di Aceh pada masa kejayaan Kesultanan Aceh di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda.

Untuk memperdalam pengetahuan agamanya, beliau berangkat ke Arab Saudi sekitar tahun 1643 M (1064 H), saat Aceh sedang dilanda kekacauan politik dan pertentangan dalam bidang keagamaan di bawah pemerintahan Sultanah Safiatuddin.

Syeikh Abdurrauf tidak langsung menuju Mekkah, melainkan tinggal dan menuntut ilmu di berbagai pusat pendidikan agama di sepanjang jalur perjalanan haji.

Setelah tiba di Mekkah dan Madinah, beliau melengkapi ilmu lahir yang sudah dimilikinya, seperti Al-Qur'an, tafsir, hadis, fiqh, serta mendalami ilmu tasawuf dan thariqat.

Setelah belajar di Madinah dengan Syeikh Thariqat Syatthariyah Ahmad Al Qusyasyi (wafat 1661 M/1082 H) dan kemudian pada khalifah atau penerusnya, Ibrahim Alqur'ani, beliau memperoleh ijazah dari pimpinan thariqat tersebut.

Beliau mendapatkan banyak ijazah ilmu pengetahuan dari guru-guru besar selama 19 tahun menuntut ilmu.

Ketika pulang ke Aceh, Syeikh Abdurrauf menjadi ulama besar yang memiliki pengetahuan yang luas. 

Menurut perkiraan para ahli, sekitar tahun 1662 M (1083 H), beliau mulai mengajar thariqat Syatthariyah di Madinah menjelang kepulangannya ke Aceh.

Beliau mengajar di Kuala atau Muara Krueng Aceh dan meninggal di daerah tersebut pada tahun 1693 M (1105 H).

Karena mengajar dan wafat di Kuala Aceh, beliau dikenal oleh masyarakat Aceh dengan sebutan Syiah Kuala.

Selain mengajar, beliau juga menjalankan tugas sebagai mufti Kerajaan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultanah Safiatuddin (1641-1675 M).

Beliau memiliki banyak karya, baik dalam bidang tafsir dan merupakan penulis kitab tafsir pertama yang dihasilkan di Indonesia, serta karya-karya ilmu lainnya.(*)

ARTIKEL TERKAIT

Terupdate Lainnya

Iklan: Lanjut Scroll