![]() |
Foto Tgk Bantaqiah |
ACHEH NETWORK - Rezim Suharto diketahui telah menguras kekayaan alam Aceh dan juga melakukan genosida terhadap Muslim Aceh. Operasi Jaring Merah atau yang dikenal dengan DOM pada tahun 1989-1998 adalah salah satu contoh kekejaman yang dilakukan oleh rezim ini terhadap Muslim Aceh. Menurut banyak peneliti DOM, kekejaman tersebut dapat disetarakan dengan kekejaman yang dilakukan oleh Milisi Serbia terhadap Muslim Bosnia pada era 1990-an. Wilayah Aceh yang luas telah dijadikan kuburan massal oleh rezim fasis Suharto, dan Muslim Aceh yang hidup dalam kerangka Islam selama berabad-abad dihinakan oleh rezim ini.
Bukit Tengkorak juga dikenal sebagai salah satu ladang pembantaian yang terkenal di Aceh. Ada 35 titik ladang pembantaian di Aceh, jauh lebih banyak daripada di Kamboja. Ada banyak pameran kekejaman dan kebiadaban yang dilakukan oleh rezim Suharto terhadap Muslim Aceh sehingga jika dijadikan buku, buku tersebut akan memiliki jumlah halaman yang sama dengan koleksi perpustakaan Iskandariyah sebelum pasukan Mongol membakarnya.
Tragedi Tengku Bantaqiah, pemimpin Dayah Babul Nurillah di Beutong Ateuh pada 23 Juli 1999, merupakan salah satu dari jutaan kasus kejahatan HAM di Aceh. Ironisnya, meskipun secara resmi DOM telah dicabut, kekejaman dan kebiadaban yang menimpa Muslim Aceh tidaklah surut. Para presiden seperti Habbie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono, pada kenyataannya malah melestarikan sistem Orde Baru. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang ada di Aceh telah berkembang penuh inovasi di era reformasi ini.
Feri Kusuma, salah satu aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Aceh, menulis secara khusus tentang Tragedi Tengku Bantaqiah ini. Artikelnya yang berjudul ‘Jubah Putih di Beutong Ateuh’ menggambarkan kondisi geografis Beutong Ateuh yang cocok untuk bersantai sambil menikmati panorama alam yang indah. Namun, Eramuslim yang mengunjungi hutan belantara ini pada tahun 2001, dua tahun setelah tragedi, melihat kondisi yang sangat mengenaskan. Kemiskinan tersebar di seluruh wilayah Aceh, padahal tanah Aceh sangat kaya dengan sumber daya alamnya. Jakarta telah menguras habis kekayaan Aceh.
Beutong Ateuh terletak di perbatasan Aceh Tengah dan Aceh Barat. Dari Ulee Jalan ke Beutong Ateuh, kita akan melewati pos kompi Batalyon 113/Jaya Sakti yang terletak di areal kebun kelapa sawit. Di areal kompi ini, tepatnya di gapura, terpasang papan pengumuman berisi tulisan “TEMPAT LATIHAN PERANG TNI”.
Sekitar pukul 05.00 pagi, seluruh santri disuruh keluar dari Dayah Babul Nurillah dan diatur dalam satu barisan oleh pasukan TNI yang dipimpin oleh seorang Letkol. Selama penganiayaan berlangsung, sejumlah santri meninggal dunia, termasuk Tengku Bantaqiah sendiri. Selain itu, banyak santri yang mengalami luka-luka dan trauma psikologis yang sangat berat.
Setelah kejadian tersebut, pemerintah Indonesia pada saat itu tidak melakukan tindakan apa pun untuk menyelesaikan kasus tersebut. Bahkan, keluarga korban dan para saksi mata mengalami intimidasi dan ancaman dari aparat keamanan setempat. Kasus ini menjadi salah satu contoh nyata dari pelanggaran hak asasi manusia yang sering terjadi di Aceh.
Pada akhirnya, setelah berbagai upaya yang dilakukan oleh keluarga korban dan aktivis hak asasi manusia, kasus ini akhirnya diadili di pengadilan. Meskipun pelaku diadili dan dijatuhi hukuman, kasus ini tetap meninggalkan trauma yang mendalam bagi keluarga korban dan seluruh masyarakat Aceh.
Tragedi Tengku Bantaqiah merupakan contoh dari kekejaman dan pelanggaran hak asasi manusia yang sering terjadi di Aceh selama puluhan tahun. Meskipun status DOM telah dicabut pada 1998, kekerasan dan intimidasi terhadap masyarakat Aceh masih terjadi hingga saat ini. Oleh karena itu, diperlukan upaya yang lebih serius dan komprehensif dari pemerintah Indonesia untuk menjamin hak asasi manusia dan keadilan di Aceh.
![]() |
Dayah yang menjadi saksi bisu pembantaian santri dan ulama tgk Bantaqiah |
Hingga kini, tidak satu pun pelaku pembantaian terhadap Tengku Bantaqiah dan santri Beutong Ateuh yang diadili. Tidak ada juga komandan tentara yang dimintai pertanggungjawaban atas ulahnya membakar kitab suci Al-Quran dan surat Yassin, sampai hari ini. Para pelakunya masih bebas berkeliaran dan mungkin hanya menunggu hukum Allah SWT untuk menentukan nasib mereka, seperti guru mereka, Jenderal Suharto.
Tragedi Beutong Ateuh hanyalah salah satu dari banyak kekejaman yang dilakukan oleh rezim Suharto terhadap umat Muslim Aceh. Hingga kini, tidak ada pejabat pemerintah, baik sipil maupun militer, yang bertanggung jawab atas kejahatan HAM yang sangat berat yang terjadi di Aceh.[]